Selasa, 08 November 2011

NIKAH VIA TELPON


PENDAHULUAN
Sebagai fuqoha’ dalam mengemukakan hakekat perkawinan hanya menonjolkan aspek lahiriyah yang bersifat normatif. Seolah-olah akibat sahnya sebuah perkawinan hanya sebatas timbulnya kebolehan terhadap sesuatu yang sebelumnya sangat dilarang, yakni berhubungan badan antara laki-laki dengan perempuan. Dengan demikian yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah akad (pernikahan) yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai laki-laki.
Perkawinan umat Islam di Indonesia juga mengacu pada pedoman hukum Islam. Dengan perkataan lain hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan hukum Islam sebagaimana pemahaman kalangan fuqoha’. Perkawinan juga bertujuan untuk memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta membangun masa depan individu keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, jika telah ada kesepakatan antara orang pemuda dengan seorang pemudi untuk melaksanakan akad nikah pada hakekatnya kedua belah pihak telah sepakat untuk merintis jalan menuju kebahagiaan lahir batin melalui pembinaan yang ditetapkan agama.
Barangkali, faktor-faktor yang ditetapkan terakhir inilah yang lebih mendekati tujuan hakekat dari perkawinan yang diatur oleh Islam. Oleh sebab itu, sah tidaknya perkawinan menurut Islam adalah tergantung pada akadnya. Karena sedemikian rupa pentingnya akad dalam perkawinan itu maka berdasarkan dalil-dalil yang ditemukan, para fuqoha’ telah berijtihad menetapkan syarat-syarat dan rukun untuk sahnya sesuatu akad nikah.
Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai permasalahan baru dalam soal perkawinan yaitu tentang sahnya akad nikah yang ijab qabulnya dilaksanakan melalui telepon?.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Akad (nikah dari bahasa Arab عقد) atau ijab qabul, merupakan ikrar pernikahan. Yang dimaksud akad pernikahan adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dari qabul dari pihak calon suami atau wakilnya. Menurut syara’ nikah adalah satu akad yang berisi diperbolehkannya melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz انكاح (menikahkan) atau تزويج (mengawinkan). Kata nikah ini sendiri secara hakiki bermakna akad dan secara majazi bermakna persetubuhan menurut pendapat yang shoheh ;
ويطلق شرعا على عقد مشتمل على الاركان والشروط
B. Rukun Pernikahan
Adapun rukun nikah ada 5, yaitu :
1. Wali
2. Pengantin laki-laki
3. Pengantin perempuan
4. Dua saksi laki-laki
5. Akad nikah
Akad nikah merupakan syarat wajib dalam proses atau ucapan perkawinan menurut Islam akad nikah boleh dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada juru nikah.
وشروط الصيغة كونها بصريح مشتق انكاح او تزويج ولو بغير العربية جيث فهما العقدان والشاهدان. ولا يصح عقد النكاح الا بولي غدل او ماذونه والعدالة ليست بشرط في الولى. وانما السرط عدم الفسق وفى بعض النسخ بولى ذكر وهو اي الذكور – إختراز عن الأنثى فانما لا تزوج نفسها ولا غيرها.
Syarat (akad) yaitu adanya akad itu jelas keluar dari lafadz نكاح atau تزويج (aku nikahi) walaupun akad tersebut tanpa menggunakan bahasa arab sekitarnya kedua lafadz itu dipahami oleh dua orang yang akad dan dua saksi.
Dan tidak sah akad nikah kecuali dengan wali yang adil, atau orang yang mendapatkan ijin wali. Syarat dalam wali itu disyaratkan tidak fasiq di sebagian nusakh itu harus wali laki-laki yang lebih diunggulkan dari pada wanita, karena sesungguhnya wanita itu tidak bisa menikahkan diri sendiri atau menikahkan orang lain.
ولا يصح عقد النكاح ايضا الا بحضور شاهدى عدل
Dan tidak sah juga akad nikah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang adil.
C. Nikah Lewat Telepon Menurut Hukum Islam
Menentukan sah / tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi / tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan / kekurangan untuk dipenuhi.
Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada / tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Prof. Dr Baharuddin yang mengawinkan putrinya di Jakarta (dra. Nurdiani) dengan Drs. Ario Sutarti yang sedang belajar di Universitas Indiana Amerika Serikat pada hari sabtu tanggal 13 Mei 1989 pukul 10.00 WIB bertepatan hari jumat pukul 22.00 waktu Indiana Amerika Serikat.
Karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan /kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :
1. Nikah itu termasuk ibadah. Karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل فى العبادة حرام
“Pada dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).
2. Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
3. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi/kaidah fiqih
لا ضرر ولا ضرارا
Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.
Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا مالا يريبك
Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah

ANALISIS
Peristiwa akad nikah lewat telepon itu mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat contohnya pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak jauh Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami drs. Ario sutarto yang sedang bertugas belaar di program pasca sarjana Indiana University AS, sedangkan calon istri adalah dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama belajar dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga sudah mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan alasan tiadanya beaya perjalanan pulang pergi AS- Jakarta dan studinya agar tidak terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) agar diusahakan adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat taukil itu, padahal surat undangan untuk walimatul urs sudah tersebar, maka Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain dengan melengkapi pesawat telepon dirumahnya dengan alat pengeras suara (mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape recorder dan video. Alat pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang yang hadir di rumah Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami di AS itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik, artinya semua orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali mempelai putri dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki ; sedangkan alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas berlangsungnya akad nikah pada hari itu.
Setelah akad nikah dilangsungkan lewat telepon, tetapi karena surat taukil dari calon suami belum juga datang pada saat akad nikah dilangsungkan, maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah, karena menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya mempelai laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara lain Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI pusat, dan prof. dr. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused (keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara sempurna menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.



KESIMPULAN
Dari uraian yang penulis sampaikan di muka, dapat lah penulis simpulkan dan sarankan sebagai berikut :
1. nikah lewat telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. penetapan/putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang buruk bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia, karena melawan arus dan berlawanan dengan pendapat mayoritas dari dunia Islam.
3. penetapan peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim pengadilan agama seluruh Indonesia sebagai yurisprudensi untuk membenarkan dan mengesahkan kasus yang sama .

IDDAH DAN TEHNOLOGI MODERN


Iddah adalah periode tertentu yang wajib dijalani dan ditunggu oleh wanita yang dicerai suaminya atau yang ditinggal mati suaminya dengan berpantang melakukan perkawinan baru.[1][1]  Lamanya masa tunggu itu bervariasi, tergantung dalam kondisi bagaimana seorang wanita itu berpisah dengan suaminya. Seorang wanita yang ditinggal mati berbeda iddahnya dengan wanita yang dicerai. Begitu pula seorang wanita yang dicerai dalam keadaan hamil berbeda dengan wanita yang dicerai tidak dalam keadaan hamil. Semua ini ada ketentuannya dalam Quran.
            Bagi wanita yang dicerai sedangkan ia dalam keadaan hamil, iddahnya adalah sampai ia melahirkan bayi yang dikandungnya (ath-Thalaq: 4). Bagi wanita yang dicerai sedangkan ia dalam keadaan haid, iddahnya adalah tiga kali quru`(Mengenai kata quru` ini ada dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh karena itu timbul dua penafsiran: ada yang mengatakan tiga kali suci dan ada yang mengatakan tiga kali haid) (al-Baqarah: 228), sedangkan jika ia belum balig atau sudah memasuki masa menopause, maka iddahnya adalah tiga bulan (ath-Thalaq: 4). Sedangkan bagi wanita yang ditinggal mati, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari (al-Baqarah: 234). Akan tetapi Quran tidak menetapkan berapa lama iddahnya seorang wanita yang ditinggal mati suaminya sedangkan ia dalam keadaan hamil. Apakah iddahnya dihitung menurut iddah kematian atau kehamilan? Terhadap kasus ini muncul dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa iddah wanita yang dalam keadaan seperti itu adalah kelahiran anaknya. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa iddahnya dengan melihat mana masa terlama di antara iddah kehamilan dan kematian. Jika masa kehamilan lebih lama, maka iddah kehamilan itu yang dijadikan patokan, yaitu sampai ia melahirkan anaknya. Akan tetapi jika iddah kamatian lebih lama, maka iddah kematian itu yang dijadikan patokan.
            Ketentuan Quran tentang iddah ini adalah suatu ketentuan yang mutlak harus diikuti, karena inilah syariat yang diturunkan kepada manusia untuk kemaslahatan mereka di dunia dan keselamatan mereka di akhirat kelak. Ketentuan-Nya ini tentu saja tidak dapat diubah. Akan tetapi ada yang belum jelas di sini, yaitu apa alasan Allah mensyariatkan iddah bagi seorang wanita, Quran tidak menjelaskannya.   Tidak adanya penjelasan Quran tentang hal ini tidaklah menunjukkan titik lemah dari Quran. Justru inilah cara Allah memberi kebebasan kepada manusia dalam menafsirkan syariat yang Dia turunkan. Apa alasan yang tepat dari pemberlakuan iddah ini, Dia kembalikan kepada manusia. Oleh karena itu, tidak sedikit ulama yang mencoba mendefinisikan atau mencari alasan pemberlakuan iddah itu kepada kaum wanita. Di sini pembahasan mulai memasuki wilayah fikih, bukan syariat. Hal ini tentu saja menyebabkan munculnya banyak definisi dan alasan pemberlakuan iddah itu. Dalam wacana fikih, banyaknya pendapat tentang suatu masalah fikhiyah dimungkinkan.
            Menurut golongan Syafi`iyah, makna iddah adalah:

مدة تتربص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها أو للتعبد أو لتفجعها على زوج.
“Masa yang harus dilalui oleh istri untuk mengetahui bebasnya (kesucian) rahimnya, mengabdi, atau berbela sungkawa atas suaminya.”[2][2]

Sejalan dengan golongan Syafi`iyah ini, golongan Hanafiyah mendefinisikan iddah dengan:

أجل ضرب لانقضاء ما بقي من أثار النكاح أو الفراش
“Suatu batas waktu yang ditetapkan (bagi wanita) untuk mengetahui sisa-sisa dari pengaruh pernikahan atau persetubuhan.”[3][3]

            Dari dua definisi iddah di atas tampak bahwa tujuan iddah adalah untuk mengetahui apakah di dalam rahim wanita yang dicerai atau ditinggal mati itu terdapat bibit yang akan tumbuh menjadi bayi atau tidak. Dalam rangka inilah masa tunggu itu diberlakukan. Demikian menurut ulama golongan Syafi`iyah dan Hanafiyah.
            Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan peradaban manusia, ditambah lagi dengan kemajuan sains dan teknologi, perubahan-perubahan terus berjalan. Sesuatu yang tadinya dianggap mustahil oleh manusia, saat ini terjadi. Sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan adanya kini dapat disaksikan.   
Dewasa ini, ilmu kedokteran telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dengan menggunakan USG (Ultrasonography), yaitu teknik diagnostik untuk pengujian struktur badan bagian dalam yang melibatkan formasi bayangan dua dimensi dengan gelombang ultrasonik,[4][4] seseorang dapat mengetahui jenis kelamin bayi yang masih berada di dalam kandungan. Bukan itu saja, bahkan dengan melalui suatu alat tertentu, yaitu dengan menjalani tes urine, rahim  seorang wanita dapat diketahui apakah di dalamnya terdapat janin atau tidak. Dengan kata lain, apakah ia dalam keadaan hamil atau tida. Jadi, proses untuk mengetahui kehamilan atau tidak sangat cepat. Hanya dengan hitungan menit, bahkan detik, saja.
            Jika kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern di bidang kedokteran ini dihubungkan dengan pendapat para ulama tentang iddah di atas, maka jelas sekali perbedaannya, bahkan bertolak belakang. Di sini terbukti bahwa apa yang dahulu tak terbayangkan oleh para ulama mazhab, kini telah terjadi. Mereka mendefinisikan iddah dengan menghubungkannya dengan kehamilan, sudah pasti karena mereka tidak mengetahui akan adanya alat yang dapat digunakan untuk mengetes kehamilan, bahkan dengan waktu yang sangat singkat.
            Dengan adanya kontradiktif antara pendapat ulama tentang iddah dan teknologi modern ini, timbul pertanyaan: apakah pendapat ulama mazhab tentang iddah itu masih perlu dipertahankan atau tidak? Jika dipertahankan, konsekuensinya adalah bahwa hukum iddah dianggap tidak berlaku lagi. Sebab, untuk mengetahui keadaan rahim seorang wanita, dalam arti hamil atau tidak, tak perlu menunggu sampai tiga atau empat bulan sepuluh hari. Jika hukum iddah dianggap tidak  berlaku lagi, maka berarti ayat-ayat Quran yang menjelaskan tentang hal itu juga tidak berlaku lagi. Apakah hal ini dapat diterima akal yang sehat? Sudah barang tentu tidak. Ayat-ayat Quran, sebagai sumber syariat, tentang iddah akan tetap berlaku. Ketentuan-ketentuannya tentang lama masa iddah wajib diimani dan dilaksanakan. Yang harus dianggap tidak berlaku lagi justru pendapat para ulama mazhab itu, karena sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Dengan kata lain, perlu ada redefinisi tentang iddah.    



1 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, hlm. 171.
2  Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh `ala al-Mazhahib al-Arba`ah, Juz IV, Beirut: Ihya` at-Turats al-`Arabi, 1969, hlm. 517.
3 Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh `ala al-Mazhahib al-Arba`ah, hlm. 513.
[5][4] Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: 1994, hlm. 1101.



1 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, hlm. 171.
2  Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh `ala al-Mazhahib al-Arba`ah, Juz IV, Beirut: Ihya` at-Turats al-`Arabi, 1969, hlm. 517.
3 Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh `ala al-Mazhahib al-Arba`ah, hlm. 513.




HUKUM ASURANSI DALAM ISLAM

Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain:
A. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda
B. Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan
ASURANSI KONVENSIONAL
A. Ciri-ciri Asuransi konvensional
Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah:
1. Akad asuransi konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan.
2. Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
3. Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
4. Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,
B. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam
Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah.
Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.
Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.
Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
I. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
· Asuransi sama dengan judi
· Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti.
· Asuransi mengandung unsur riba/renten.
· Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
· Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
· Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
· Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.

II. Asuransi konvensional diperbolehkan Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas
Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
· Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
· Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
· Saling menguntungkan kedua belah pihak.
· Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
· Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
· Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
· Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.

III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui.
Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)Asuransi syariah

A. Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
2. Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
3. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
6. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.

B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:
1. Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
3. Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
4. Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
5. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.

C. Manfaat asuransi syariah.
Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
1. Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
2. Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
3. Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
4. Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
5. Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
6. Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
7. Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
8. Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.

A. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah.
Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:
1. Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
2. Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
3. Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
4. Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.

B. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah.
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.
1. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
2. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
3. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
4. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
5. Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
6. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.

Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di muka.
Referensi: 1. Al-Quran AL-karim. 2. Al-fiqh al-Islamy wa adillatuhu, DR. Wahbah Azzuhaily. 3. Al-Islam wal manahij al-Islamiyah, Moh. Al Gozali. 4. Asuransi dalam hukum Islam, Dr. Husain Hamid Hisan. 5. Majalah al- buhuts al- Islamiyah, kumpulan ulama-ulama besar pada lembaga riset, Fatwa, dan dakwah. 6. Masail al-fiqhiyah, zakat, pajak, asuransi dan lembaga keuangan, M. Ali Hasan. 7. Halal dan haram, DR. Muhammad Yusuf al-Qordhowi. 8. Riba wa muamalat masrofiyah, DR. Umar bin Abdul Aziz al-Mutrik. 9. Riba wa adhroruhu ala al mujtama’, DR. Salim Segaf al-Djufri. 10. Masail diniyah keputusan musyawarah nasional Alim ulama NU, bandar lampung, 16-20 Rajab/ 25 januari 1992 M