Senin, 31 Oktober 2011

Filsafat Islam

TASAWUF IBNU TAIMIYAH
Mengurai Sikap dan Pandangan Ibnu Taimiyah
yang Sesungguhnya Terhadap Tasawuf

Disusun dan dipresentasikan untuk memenuhi
Tugas Mata Kuliah ” ILMU TASAWUF ”

Dosen Pembimbing
Ali Imran, M.Fil.I

Oleh :
Ana Hidayati ( 08.01.0.5492 )

INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI ( IAIT ) KEDIRI
SEMESTER III FAKULTAS TARBIYAH PAI
TAHUN AKADEMIK 2008 - 2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ibnu Taimiyah adalah sosok tokoh pemikiran islam penting abad 7 H dan “Tasawuf” adalah sebuah aliran pemikiran yang sudah lama berkembang. Dalam pandangan sebagian kalangan, ”Ibnu Taimiyah dan Tasawuf”, dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh yang membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap Tasawuf. Pandangan ini tentu saja semakin menyempurnakan gambaran kekerasan pada tokoh yang satu ini. Sehingga –bagi mereka yang tidak memahami dengan baik- setiap kali mendengarkan kata “Ibnu Taimiyah”, maka opini dan image yang tercipta adalah kekerasan, kekejaman, permusuhan, dan yang semacamnya.
Hal-hal itulah diantaranya yang menjadi alasan penulisan makalah ini. Pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran “permusuhan” Ibnu Taimiyah dan Tasawuf akan berusaha dijelaskan melalui tulisan ini. Tentu saja dengan merujuk langsung pada karya-karya yang diwariskan oleh Ibnu Taimiyah untuk peradaban manusia.

B. Rumusan Masalah
Untuk memfokuskan penulisan makalah ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Siapakah sebenarnya Ibnu Taimiyah ?
2. Ibnu Taimiyah memusuhi tasawuf, benarkah ?
3. Bagaimanakah tasawuf Ibnu Taimiyah yang sebenarnya ?
4. Apakah karya – karya Ibnu Taimiyah yang berkaitan dengan Ilmu Tasawuf ?

C. Tujuan Penulisan
Dari penulisan makalah ini, penulis mempunyai tujuan :
1. memahami tasawuf Ibnu Taimiyah
2. mengetahui karya – karya ilmu tasawuf Ibnu Taimiyah


BAB II
BIOGRAFI IBNU TAIMIYAH

Ibnu Taimiyah dilahirkan pada hari Senin, 10 Rabi’ al-Awwal 661 H/22 Januari 1263 M, di sebuah kota yang terletak antara sungai Dajlah dan Eufrat bernama Harran, Turki. Nama lengkapnya adalah Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn ‘Abd al-Salam ibn Abi al-Qasim ibn Muhammad ibn Taimiyah al-Harrany al-Dimasyqy.
Tidak lama ia menghabiskan masa kecilnya di kota kecil bernama Harran itu. Ketika usianya memasuki 7 tahun, ia bersama seluruh keluarganya terpaksa mengungsi ke kota Damaskus karena pasukan Tartar telah menjarah dan menduduki dan akhirnya menguasai Harran.
Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat mendukung perkembangannya untuk kelak menjadi seorang ulama dan pemikir Islam besar. Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd al-Halim adalah seorang ahli hadits dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy. Ia juga kemudian menjabat sebagai kepala para ulama (masyikhah) di Dar al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah berusia 21 tahun, tepatnya di tahun 682 H.
Di samping hal itu, ada beberapa faktor lain yang juga dapat disimpulkan sebagai penyebab kecemerlangan pemikiran Ibnu Taimiyah di kemudian hari. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kekuatan hafalan dan pemahamannya yang luar biasa. Di usia yang masih sangat kecil ia berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’annya. Setelah itu, ia pun mulai belajar menulis dan hisab. Kemudian membaca berbagai kitab tafsir, fikih, hadits dan bahasa secara mendalam. Semua ilmu itu berhasil dikuasainya sebelum ia berusia 20 tahun.
2. Kesiapan pribadinya untuk terus meneliti. Ia dikenal tidak pernah lelah untuk belajar dan meneliti. Dan itu sepanjang hidupnya, bahkan ketika ia harus berada dalam penjara. Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ia tidak lagi sempat untuk menikah hingga akhir hayatnya.
3. Kemerdekaan pikirannya yang tidak terikat pada madzhab atau pandangan tertentu. Baginya dalil adalah pegangannya dalam berfatwa. Karena itu ia juga menyerukan terbukanya pintu ijtihad, dan bahwa setiap orang –siapapun ia- dapat diterima atau ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah saw. Itulah sebabnya ia menegaskan, “Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas dalam madzhab Imam yang empat”.
Perjalanan hidup Ibnu Taimiyah ternyata tidak mulus. Akibat prinsip-prinsip yang diperjuangkannya, ia harus menerima resiko beberapa kali keluar-masuk penjara, difitnah dan dimusuhi. Setidak-tidaknya delapan kali ia harus melewati hari-harinya dalam penjara. Hingga ketika dipenjarakan untuk terakhir kalinya pada tahun 727 H, tekanan terhadapnya sampai pada tingkat pelarangan masuknya kitab-kitab dan alat tulis ke dalam selnya. Itu terjadi tepatnya pada hari Senin, tanggal 9 Jumada al-Akhir di tahun itu. Tidak lama setelah itu, pada tanggal 20 Syawal tahun 728 H, ia pun meninggalkan dunia ini untuk menghadap Tuhannya.
Sepeninggalnya, Ibnu Taimiyah meninggalkan sekitar 500 jilid dalam berbagai bidang ilmu. Sebagian besarnya dapat dibaca hingga sekarang, namun sebagian yang lain hanya tinggal nama atau masih berupa manuskrip yang belum ditahqiq. Ibn al-Wardy (w. 749 H) bahkan menyatakan bahwa dalam sehari semalam, Ibnu Taimiyah dapat menulis sampai 4 buku.

Sisi-sisi Lain Kepribadian Ibnu Taimiyah
1. Keteguhan ibadah dan kezuhudannya
Mengenai kezuhudannya, maka itu adalah perkara yang diketahui dengan jelas oleh semua orang yang mengenalnya. Karena itu, beberapa kali ia diberi hadiah harta yang berlimpah, namun tidak lama kemudian semuanya telah habis diberikan kepada yang membutuhkannya. Hingga bila ia tidak memiliki apapun untuk disedekahkan, maka ia mengambil pakaiannya lalu diberikannya kepada fuqara’.
2. Kelapangan dadanya kepada siapa pun yang menyakitinya
Ibnu Taimiyah dapat dikatakan sebagai salah satu contoh ulama yang memahami dan merealisasikan dengan baik etika dalam berbeda pendapat. Kelapangan dadanya dalam menyikapi siapa pun yang menjadi lawannya menyebabkan kekaguman tersendiri bagi para penelaah pemikirannya.
Dalam berbagai karyanya ia selalu mengulang-ulangi pentingnya bersikap adil, moderat dan pertengahan dalam menilai apapun dan siapa pun. Termasuk juga saat ia mengkritisi berbagai aliran pemikiran dalam Islam –bahkan di luar Islam-, ia selalu menjelaskan sisi-sisi positif yang mereka miliki. Tentu saja, tanpa mengurangi ketegasannya dalam hal-hal yang prinsipil.


BAB III
IBNU TAIMIYAH DAN TASAWUF

Ibnu Taimiyah meninggalkan cukup banyak karya yang menunjukkan perhatiannya yang cukup dalam terhadap Tasawuf. Beberapa karyanya dimana ia banyak menyinggung tema-tema sentral yang biasa diangkat para sufi, diantaranya adalah:
1. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan.
2. al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi A’mal al-Qulub
3. al-‘Ubudiyyah
4. Darajat al-Yaqin
5. al-Risalah al-Tadmuriyah
6. Risalah fi al-Sama’ wa al-Raqsh
7. Term al-Tashawwuf dan al-Suluk dalam kumpulan fatwanya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah.
Secara umum, sikap Ibnu Taimiyah yang tertuang dalam karya-karyanya itu terpusat pada upaya meletakkan landasan pandangan Tasawuf yang ia yakini, lalu mengapresiasi apa yang ia sebut dengan “Tasawwuf yang sesuai dengan Syariat” dan mengkritisi apa yang ia sebut sebagai “Tasawuf yang menyimpang”. Dan berikut ini akan diuraikan pokok-pokok pandangannya terhadap Tasawuf.

A. Pengertian ‘Tasawuf’ Menurut Ibnu Taimiyah
Asal pembentukan kata “Tasawuf” atau “sufi” ini diulas oleh Ibnu Taimiyah. Dalam ulasannya, ia menguraikan semua pandangan yang ada dalam masalah ini, mendiskusikannya lalu kemudian menyampaikan pandangannya sendiri yang disertai dengan dalil dan argumentasinya. Dari semua pendapat yang ada, umumnya kritik yang dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah berkaitan dengan kaidah kebahasaan dalam penisbatan sebuah kata untuk kemudian menjadi “sufi”. Salah satu contohnya adalah ketika ia mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa “sufi” adalah penisbatan kepada Ahl al-Shuffah. Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Penisbatan (sufi) kepada ‘al-Shuffah’adalah sebuah kekeliruan. Sebab jika (‘sufi’ adalah penisbatan kepada ‘al-Shuffah’), maka seharusnya menjadi ‘shuffy’ صفي , dan bukan ‘sufi’ ’. صوفي
Di samping itu, ia juga menafikan –berdasarkan fakta sejarah- pendapat ini dengan menyatakan bahwa Shuffah yang terletak di bagian selatan Mesjid Rasulullah saw kala itu bukanlah tempat yang khusus dihuni oleh kelompok tertentu. Tempat itu sepenuhnya untuk orang-orang yang datang ke Madinah sementara mereka tidak mempunyai keluarga atau rumah di Madinah. Kaum muslimin yang berasal dari luar Madinah jika berkunjung ke kota itu dapat menginap di mana saja, dan Shuffah menjadi alternatif terakhir bila mereka tidak menemukan tempat bernaung. Karena itu –menurut Ibnu Taimiyah- penghuni Shuffah selalu berganti. Terkadang jumlahnya banyak, tapi pada kali yang lain menjadi sedikit. Karakternya pun berbeda-beda; ada yang ahli ibadah dan ilmu, namun ada pula yang tidak demikian. Bahkan, diantara mereka kemudian ada yang murtad dan diperangi oleh Nabi saw. Karena itu, tidak ada alasan untuk menisbatkan “sufi” kepada Ahl al-Shuffah.
Pada akhirnya, Ibnu Taimiyah lebih menguatkan pandangan yang menyatakan bahwa “sufi” adalah sebuah penisbatan pada pakaian shuf ( صوف ) bulu domba. Di samping karena alasan kaidah kebahasaan, dari segi fakta, para sufi dan zuhhad juga banyak mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba.
Namun, Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting yang patut direnungkan. Ia mengingatkan bahwa mengenakan model pakaian tertentu (seperti yang terbuat dari bulu domba) sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai tanda atau bukti kewalian seseorang. Ia mengatakan,
“Para wali Allah sama sekali tidak memiliki ciri yang menjadi kekhasan mereka secara lahiriah dari hal-hal yang mubah. Mereka tidak menjadi beda dengan mengenakan model pakaian tertentu lalu meninggalkan model yang lain, selama keduanya adalah perkara yang mubah.”
Hal ini mengantarkan pada kesimpulan lain bahwa dalam hal ini, Ibnu Taimiyah lebih mementingkan ‘isi’ dan ‘kandungan’ yang sesungguhnya daripada harus mementingkan penampilan lahiriah. Itulah sebabnya, dalam mengulas tentang Tasawuf, ia tidak terpaku pada istilah ini secara baku. Ia juga menggunakan istilah “al-Fuqara’” (kaum fakir), “al-Zuhhad” (kaum pelaku kezuhudan), “al-Salikin” (para penempuh jalan menuju Allah), “Ashab al-Qalb” (pemerhati dan pemilik hati), “Arbab al-Ahwal” (para penempuh ahwal), “Ashab al-Shufiyah” (pelaku jalan sufi), atau Ashab al-Tashawwuf al-Masyru’ (pelaku Tasawuf yang disyariatkan); semuanya untuk menunjukkan satu makna, yaitu para penempuh jalan ruhani dalam Islam. Sebagaimana ia juga menegaskan bahwa jalan ruhani ini sama sekali tidak menjadi monopoli kelompok tertentu. Para ulama, qurra’ dan yang lainnya pun dapat dikategorikan sebagai para penempuh jalan ini, sebab –baginya- Islam adalah sebuah keutuhan antara zhahir dan bathin, jiwa dan raga.

B. Sejarah Pemunculan Tasawuf
Seperti pembahasan sebelumnya, para peneliti Tasawuf juga memiliki pandangan yang berbeda seputar awal sejarah pemunculan Tasawuf. Sebagian peneliti bahkan mengatakan istilah “sufi” telah ada di masa jahiliyyah.
Ibnu Taimiyah sendiri menyimpulkan bahwa istilah ini baru muncul pada awal-awal abad 2 H. Akan tetapi penggunaannya baru terkenal setelah abad 3 H. Ia mengatakan,
“Awal mula munculnya Sufiyah adalah dari Bashrah, dan yang pertama kali membangun rumah kecil untuk kaum sufi adalah beberapa orang pengikut Abd al-Wahid bin Zaid. Abd al-Wahid bin Zaid ini adalah salah satu murid dari al-Hasan al-Bashri. Saat itu perhatian pada kezuhudan, ibadah, khauf, dan yang semacamnya di Bashrah sangat berlebihan melebihi kota-kota lain. Itulah sebabnya muncul pameo: ‘fikihnya fikih Kufah, tapi ibadahnya ibadah Bashrah’.

C. Ibnu Taimiyah Memusuhi Tasawuf, Benarkah?
Setidaknya ada 2 tuduhan penting terkait dengan pembahasan ini: (1) Ibnu Taimiyah sangat membenci dan memusuhi Tasawuf, dan (2) ia adalah sosok yang “berhati batu”. Benarkah demikian?
1) Pertama, Ibnu Taimiyah memusuhi Tasawuf.
Ini semacam opini umum yang berkembang di kalangan para pengkaji Tasawuf, dulu dan sekarang. Opini ini sesungguhnya tidak dibangun di atas pijakan yang benar. Ini sepenuhnya hanya didasarkan pada kesimpulan yang salah. Siapa pun yang mendalami karya-karya Ibnu Taimiyah akan mendapati bahwa ia berulang kali memuji para syekh sufi besar yang konsisten dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadikan perkataan-perkataan mereka sebagai penguat prinsip-prinsip yang diyakininya.
Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah juga telah menulis karya-karya yang secara khusus menjelaskan dan menjabarkan jalan Tasawuf yang ia yakini kebenarannya. Dan itu –seperti telah dijelaskan- dilakukan dengan mengutip pandangan dan perkataan para tokoh sufi generasi awal yang berpegang pada cahaya al-Qur’an, al-Sunnah dan pandangan kaum salaf.
Diantara karyanya itu –misalnya- adalah:
Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi al-A’mal al-Qalbiyyah. Buku ini Berisi kalimat-kalimat ringkas tentang amalan-amalan hati yang disebut dengan ‘maqamat’ dan ‘ahwal’, yang juga merupakan bagian dari dasar-dasar keimanan dan kaidah-kaidah agama.
Untuk memastikan permusuhan Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf secara mutlak menuntut kita untuk menelaah ide-idenya yang tertuang dalam berbagai karyanya. Untuk mengatakan bahwa ia mendukung semua jenis Tasawuf tentu juga tidaklah tepat. Sebagaimana menyatakan bahwa ia menolak dan memusuhi semua jenis Tasawuf juga tidaklah benar. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah mendukung dan menjalani apa yang disebutnya sebagai Tasawuf Masyru’ (Tasawuf yang disyariatkan). Tasawuf yang mengambil ajaran-ajarannya dari sumber terbersih yang diwariskan oleh Rasulullah saw. Kritik-kritik tajam yang ia lontarkan terhadap ‘ide-ide asing dari Islam’ tidak lebih merupakan upaya kerasnya untuk menjaga kemurnian Tasawuf, agar para sufi dapat menempuh perjalanan mereka menuju Allah dengan tetap berpegang pada Syariat-Nya dan menjaga batasan-batasan-Nya. Apakah Ibnu Taimiyah memusuhi jenis Tasawuf ini? Ia justru menghabiskan hidupnya untuk memperjuangkannya.

2) Kedua, Ibnu Taimiyah “berhati batu (keras)”
Tuduhan ini mungkin disebabkan karena hanya memandang sosok Ibnu Taimiyah dari satu sisi saja dan melupakan sisi-sisi lain kepribadiannya. Harus diakui, bahwa kondisi zamannya yang diliputi pergolakan sedikit banyak mungkin mempengaruhi pribadi Ibnu Taimiyah. Sehingga tidak mengherankan –di tengah kewajiban membela agama dan tanah airnya-, Ibnu Taimiyah kemudian menjelma menjadi sosok “prajurit” yang keras. Dan faktanya memang menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah beberapa kali terlibat dalam peperangan melawan pasukan Mongolia.
Akan tetapi hal itu sama sekali tidak mengubah kehalusan pribadinya. Ia tetaplah Ibnu Taimiyah yang merindukan perjumpaan dengan Tuhannya, tidak putus mengingat-Nya meski harus melewati hari-hari panjang dalam penjara, dan selalu tulus memaafkan musuh yang telah melontarkan fitnah dan tuduhan keji terhadapnya. Ia juga tetaplah Ibnu Taimiyah yang menyimpan ketawadhuan, yang ketika tidak memahami suatu masalah, ia pergi ke Mesjid dan membenamkan wajahnya ke lantainya sembari berdoa, “Wahai Dzat Yang mengajari Ibrahim, ajarilah aku!”. Dan siapa pun yang menelaah secara utuh tentangnya melalui karya yang ditinggalkannya, akan menemukan kalimat-kalimat yang membuktikan kedalaman ma’rifatnya kepada Allah dan kecintaannya pada makhluk-Nya.


BAB IV
KONSEP AHWAL, MAQAMAT DAN WALI
MENURUT IBNU TAIMIYAH

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, “dasar utama agama ini sebenarnya adalah ilmu dan amal yang bersifat bathiniyah, dan amalan lahiriah tidak akan bermanfaat tanpa (hal-hal yang bersifat bathiniyah) itu”. Oleh sebab itu, berangkat dari konsep universalitas Islam untuk semesta, Ibnu Taimiyah mengkritik pandangan sebagian sufi yang menganggap bahwa ahwal dan maqamat tertentu hanyalah ‘milik’ kalangan khas, dan tidak bisa menjadi ‘milik’ kalangan –yang mereka sebut- awam. Baginya, semua ahwal dan maqamat itu, karena ia merupakan ilmu dan amal batiniyah yang menjadi dasar utama dalam menjalankan agama, maka ia seharusnya menjadi kewajiban setiap muslim, tanpa sekat-sekat awam dan khas.

Berikut ini akan diulas beberapa maqamat dan ahwal yang diuraikan secara panjang lebar oleh Ibnu Taimiyah dalam berbagai karyanya.
Maqamat Menurut Ibnu Taimiyah
1. Maqam taubat
Inilah maqam pertama para penempuh jalan menuju Allah menurut jumhur kaum sufi. Itulah sebabnya, dalam al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah (hal. 27), Ibnu Taimiyah mengawalinya dengan ulasan tentang taubat. Ia menegaskan bahwa –sebagaimana dalam al-Qur’an - Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan dirinya, dan bahwa taubat merupakan salah satu karakter penting seorang wali Allah.
Taubat –menurut Ibnu Taimiyah- adalah sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan hamba setiap waktu. Di dalam al-Qur’an, setiap kali Allah menyebutkan dosa dan maksiat, maka ia akan selalu disertai dengan penyebutan taubat dan istighfar. Karena itu, pembukaan pintu taubat yang luas itu juga menunjukkan luasnya pintu rahmat Allah bagi alam semesta. Ibnu Taimiyah kemudian membagi taubat berdasarkan hukum dan tingkatan pelakunya. Adapun berdasarkan hukum, taubat –menurutnya- dibagi menjadi dua : Pertama, taubat wajib. Yaitu taubat dari meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan Allah. Taubat jenis ini adalah kewajiban semua mukallaf. Kedua, taubat mustahabbah. Yaitu taubat dari meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh.
Adapun taubat ditinjau dari sisi tingkatan pelakunya, Ibnu Taimiyah membaginya menjadi 3 tingkatan : Pertama, al-abrar al- muqtashidun. Yaitu mereka yang mencukupkan diri dengan melakukan jenis taubat yang pertama, taubat yang hukumnya wajib. Kedua, al-sabiqun al-muqarrabun. Yaitu mereka yang selalu berusaha melakukan kedua jenis taubat di atas, taubat yang wajib dan mustahabbah. Ketiga, al-zhalimun. Yaitu orang-orang yang tidak melakukan satu pun dari kedua jenis taubat tersebut.
Akan tetapi, Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa baik-tidaknya kehidupan hamba kelak di sisi Tuhannya ditentukan oleh bagaimana ia mengakhiri hidupnya (khatimah). Apa yang ia lakukan di awal-awal hidupnya tidaklah dapat menjadi ukuran ‘kesuksesan’nya di akhirat jika kemudian ia menutup hidupnya dengan lembaran hitam. Sebab sebagaimana amal sangat bergantung pada niat memulainya, ia juga bergantung pada bagaimana seorang hamba mengakhirinya.
2. Maqam Tawakkal
Tawakkal adalah salah satu amal batin yang menghubungkan hamba dengan cinta Allah serta mengantarkannya sampai kepada puncak keikhlasan. Dan maqam ini merupakan maqam yang menjadi kewajiban kalangan awam dan khas secara umum. Tidak sebagaimana yang dipandang oleh sebagian sufi bahwa maqam tawakkal ini terlalu tinggi sehingga terlalu sulit untuk memahami dan mengamalkannya.
Dalam menjelaskan maqam tawakkal ini, -setelah menyimpulkan konsep tawakkal yang umum dipahami oleh para sufi-, Ibnu Taimiyah membagi tawakkal ini menjadi dua: (1) tawakkal dalam urusan dien, dan (2) tawakkal dalam urusan dunia. Menurutnya, umumnya para sufi hanya mengaitkan maqam tawakkal ini dengan urusan dunia. Atau dengan kata lain, tawakkal menurut mereka adalah menundukkan diri untuk tidak bernafsu dalam mencari dunia dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Sementara Ibnu Taimiyah sendiri lebih menekankan jenis tawakkal yang pertama, dan bahkan menganggapnya lebih besar dari yang kedua.
Hal lain yang juga ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam membahas maqam ini adalah bahwa ketawakalan seorang hamba pada Allah sama sekali tidak menjadi penghalang untuk tidak bekerja keras dan menempuh sebab-sebab kauniyah dalam mencapai sesuatu. Dalam hal ini, ia mengkritik sebagian sufi yang menganggap bahwa setelah bertawakkal, sang hamba tidak perlu lagi mengerahkan usahanya untuk meraih apa yang ia inginkan. Kesalahan pandangan ini –menurut Ibnu Taimiyah- disebabkan karena mereka memandang bahwa jika semua perkara telah ditakdirkan, maka dalam proses terjadinya kemudian sangat mustahil adanya campur tangan manusia di sana. Atau dengan kata lain, mereka tidak memahami bahwa ketika Allah menakdirkan sesuatu, maka Allah pun menakdirkannya bersama dengan sebab-sebab pemunculannya. Dan sebab-sebab pemunculan sesuatu yang ditakdirkan itu telah ditetapkan Allah pula; baik melalui jalan sang hamba itu sendiri, atau jalan lainnya. Intinya, segala sesuatu itu ditakdirkan ‘satu paket’ dengan sebab-sebabnya. Dan pada ‘sebab-sebab’ itulah manusia ‘bermain’.
3. Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, zuhud yang masyru’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang akan menyibukkan seseorang dari ketaatan pada Allah Ta’ala, dan bahwa apapun yang dapat menguatkan seseorang di jalan ketaatan pada Allah, maka meninggalkannya bukanlah kezuhudan. Sebaliknya apapun yang tidak berguna untuk negeri akhirat, maka meninggalkannya adalah kezuhudan.
Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa kezuhudan tidaklah identik dengan kemalasan, kelemahan, ketidakberdayaan, dan hilangnya peran serta sang hamba dalam kehidupan. Kezuhudan juga tidak identik dengan kemiskinan. Kezuhudan adalah ketika dunia tidak menguasai hati meski ia ada dalam genggaman. Seorang milyuner pun dapat menjadi manusia zuhud jika ia tidak tertawan oleh hartanya. Sebaliknya, seorang miskin tidak dapat disebut zahid jika hasrat pada dunia terus-menerus membakar jiwanya.
Itulah beberapa di antara maqamat yang disinggung oleh Ibnu Taimiyah, disamping tentu saja beberapa maqam lain yang juga dibahasnya.

Ahwal Menurut Ibnu Taimiyah
Salah satu ahwal yang dibahas oleh Ibnu Taimiyah adalah al-mahabbah (cinta). Al-Mahabbah menurut Ibnu Taimiyah adalah sebuah kecenderungan hati tanpa beban (paksaan) pada Allah dan pada apa yang ada di sisi-Nya. Al-Mahabbah inilah yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah serta disepakati oleh para salaf shaleh, imam-imam hadits dan tasawwuf. Ibnu Taimiyah juga memandang bahwa al-mahabbah adalah landasan dasar setiap amalan keagamaan, inti iman adalah cinta dan benci karena Allah.
Jika penghambaan kepada Allah menyatukan 2 unsur : cinta yang sempurna dan ketundukan yang utuh pada-Nya, maka penghambaan dan penyerahan diri seperti ini akan menganugrahkan kemerdekaan bagi jiwa manusia dalam menghadapi siapa pun selain Allah. Di titik inilah kebahagiaan manusia mencapai titik tertingginya. Yaitu ketika manusia hanya bersandar sepenuh-penuhnya hanya kepada Allah dan terbebas dari ikatan pada sesama makhluq.
Dalam uraian tentang al-mahabbah, Ibnu Taimiyah juga menyinggung tentang kecintaan seorang murid kepada seorang syekh sufi. Di sini, ia mengingatkan bahwa mencintai seorang syekh sufi yang menyelisihi syariat hanya akan membawa kebinasaan. Berbeda dengan mencintai para wali Allah yang bertaqwa, seperti para Khulafa’ al-Rasyidun, “mencintai mereka adalah termasuk ikatan tali iman paling kuat dan salah satu kebaikan terbesar orang-orang bertaqwa.



Konsep Wali Menurut Ibnu Taimiyah
Salah satu tema penting lain yang dikaji dalam Tasawuf adalah kewalian. Kata “wali” sendiri secara kebahasaan maknanya berputar pada “kedekatan”. Karena itu bila dikatakan “wali sesuatu”, maka maknanya adalah yang dekat dengan sesuatu tersebut. Maka dalam kajian Tasawuf, “wali” kemudian bermakna kedekatan hamba pada Allah dan –sebaliknya juga- kedekatan Allah pada sang hamba. Kedekatan secara fisikal (dzaty) tentulah tidak mungkin dalam hal ini, tetapi yang dimaksud adalah kedekatan sang hamba dengan keimanan dan taqwanya, serta kedekatan Allah kepadanya dengan segala rahmat, kasih sayang dan karunia kebaikan-Nya yang khas. Bila kedua hal ini telah bertemu, maka disitulah terjadi apa disebut dengan al-walayah (hubungan perwalian antara Allah dan hamba).
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, konsep wali pun tidak jauh berbeda dengan apa yang umum diyakini oleh para sufi. Ia mengatakan, “Wali Allah adalah orang yang mendekatkan dan memberikan loyalitasnya kepada-Nya dengan jalan menepati apa yang Ia cintai dan ridhai, serta mendekatkan diri dengan ketaatan-ketaatan yang diperintahkan-Nya”.
Berdasarkan ini, maka ia berkesimpulan bahwa pada dasarnya kata auliya’ Allah (wali-wali Allah) itu mencakup siapa saja yang beriman dan bertaqwa. Siapa saja yang memiliki iman dan taqwa, maka ia sesungguhnya juga adalah wali Allah, meskipun kemudian kadar kewalian itu tidak sama pada setiap orang, sangat bergantung pada kepatuhannya pada kehendak Allah. Untuk menjadi wali Allah yang tidak pernah merasa takut dan cemas hanya memerlukan dua syarat: iman dan taqwa. Sebagai konsekwensi konsep ini, Ibnu Taimiyah kemudian membagi wali Allah menjadi 2 golongan besar. Yaitu ”Sabiqun muqarrabun” dan ”Ashab yamin muqtashidun”.
1. Maka orang-orang berbakti (al-Abrar) –Ashab al-Yamin- itu adalah mereka yang mendekatkan diri pada Allah dengan menunaikan hal-hal yang fardhu. Mereka melakukan apa yang diwajibkan Allah atas mereka, meninggalkan apa yang diharamkan Allah buat mereka. Mereka tidak membebani diri dengan menunaikan ibadah-ibadah sunnah dan menahan diri dari hal-hal yang mubah.
2. Adapun para ‘Sabiqun muqarrabun’, mereka adalah yang mendekatkan diri pada Allah dengan ibadah nafilah setelah menunaikan yang wajib. Maka mereka mengerjakan yang wajib dan juga yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan juga yang makruh. Sehingga ketika mereka mendekatkan diri (pada Allah) dengan semua yang mampu mereka lakukan dari apa saja yang dicintai Allah, maka Allah pun mencintai mereka dengan cinta yang sempurna, serta memberikan kenikmatan sempurna yang disebutkan dalam firman-Nya (al-nisa: 69). Mereka inilah yang memandang bahwa hal-hal yang mubah pun dapat menjadi ketaatan yang mendekatkan mereka pada Allah Azza wa Jalla. Sehingga semua amal mereka pun menjelma menjadi ibadah dan penghambaan.”
Ibnu Taimiyah Menetapkan Adanya Karamah Wali
Ibnu Taimiyah mengakui dan menyepakati adanya karamah yang diberikan Allah kepada para wali-Nya. Dan karamah ini diberikan oleh Allah kepada hamba yang dipilih-Nya; baik itu dari kalangan para nabi, ataupun selain mereka. Dan karamah ini selalu berwujud perkara-perkara yang khariq li al-‘adat atau di luar kebiasaan umum makhluk.
Karena itu, Ibnu Taimiyah kemudian membagi perkara-perkara yang khariq li al-‘adat ini menjadi 2 bagian besar: (1) yang terjadi dan diberikan kepada para rasul, dan (2) yang terjadi pada selain para rasul.
ia membagi perkara dan peristiwa luar biasa itu menjadi 3 jenis berdasarkan pandangan agama padanya:
1. Yang terpuji dalam agama (mahmud fi al-din).
2. Yang tercela dalam agama (madzmum fi al-din).
3. Yang mubah, tidak terpuji dan tidak pula tercela. Jika ia mengandung manfaat, maka ia adalah nikmat. Sementara jika tidak mengandung manfaat apa pun, ia tidak lebih dari perkara yang sia-sia.
Ibnu Taimiyah juga memandang bahwa karamah itu sendiri tidak serta merta dapat menyimbolkan keutamaan seseorang. Seseorang yang dikaruniai keteguhan dan konsistensi (istiqamah) dalam agama jauh lebih baik daripada orang yang hanya mendapatkan karamah
Dalam kajiannya tentang karamah dan wali, Ibnu Taimiyah pada akhirnya menyimpulkan bahwa hubungan kewalian (al-walayah) seorang hamba dengan Allah tidaklah harus menyebabkan ia mendapatkan atau mengalami peristiwa yang luar biasa (khariq li al-‘adat). Bahkan –menurutnya- bisa saja seorang wali sama sekali tidak mengalami atau memiliki hal tersebut. Sebagaimana juga sebaliknya, bisa saja Allah membuat seorang pendurhaka dan pendosa mengalami dan memiliki kemampuan melakukan hal-hal yang luar biasa (seperti berjalan di air atau di udara). Dan hal-hal luar biasa itu tidak kemudian membuatnya menjadi wali Allah. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah selalu menegaskan bahwa wali Allah yang sesungguhnya hanyalah mereka yang beriman dan memiliki ketakwaan sejati.
Dengan demikian, Ibnu Taimiyah sendiri mengakui kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa spiritual oleh para sufi, seperti kasyf, wajd, ilham, dan yang semacamnya. Akan tetapi, yang terpenting –menurutnya- apa pun peristiwa itu, ia tidak dapat serta merta dijadikan sebagai ukuran kebenaran. Peristiwa-persitiwa semacam itu –baginya- tidak jauh berbeda dengan proses ijtihad yang dilakukan oleh para fuqaha’ –misalnya- yang memiliki kemungkinan salah maupun benar. Dan untuk menentukan sejauh mana kebenaran dan kesalahannya, maka satu-satunya timbangan yang digunakan adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.


BAB V
PENUTUP

1. Kesimpulan
Ibnu Taimiyah dilahirkan pada hari Senin, 10 Rabi’ al-Awwal 661 H/22 Januari 1263 M, Harran, Turki. Nama lengkapnya adalah Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn ‘Abd al-Salam ibn Abi al-Qasim ibn Muhammad ibn Taimiyah al-Harrany al-Dimasyqy. Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd al-Halim adalah seorang ahli hadits dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy. Ia juga kemudian menjabat sebagai kepala para ulama (masyikhah) di Dar al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah berusia 21 tahun, tepatnya di tahun 682 H.
Ibnu Taimiyah meninggalkan cukup banyak karya yang menunjukkan perhatiannya yang cukup dalam terhadap Tasawuf. Secara umum, sikap Ibnu Taimiyah yang tertuang dalam karya-karyanya itu terpusat pada upaya meletakkan landasan pandangan Tasawuf yang ia yakini, lalu mengapresiasi apa yang ia sebut dengan “Tasawwuf yang sesuai dengan Syariat” dan mengkritisi apa yang ia sebut sebagai “Tasawuf yang menyimpang”.
Diantara karyanya itu –misalnya- adalah:
Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi al-A’mal al-Qalbiyyah. Buku ini Berisi kalimat-kalimat ringkas tentang amalan-amalan hati yang disebut dengan ‘maqamat’ dan ‘ahwal’, yang juga merupakan bagian dari dasar-dasar keimanan dan kaidah-kaidah agama. Selain kedua konsep tersebut ’konsep wali’ Ibnu Taimiyah juga merupakan bagian dari pembahasan penulis.

2. Analisis

Dari uraian di atas, setidaknya ada titik-titik penting yang dapat disimpulkan seputar hubungan antara Tasawuf dan sosok Ibnu Taimiyah sendiri. Setidaknya dari sini dapat terungkap bahwa kontroversi Ibnu Taimiyah dalam menyikapi Tasawuf yang berkembang di zamannya tidak lebih dari sebuah wujud kegelisahan dan kekhawatirannya jika jalan sufi itu justru tidak mencapai tujuan tertingginya, yaitu mengantarkan seorang hamba menuju Allah Ta’ala. Itulah sebabnya, ia selalu berusaha mengikat pandangan-pandangan Tasawufnya dengan wahyu. Maka tidaklah mengherankan jika ia sering merujuk kepada pandangan-pandangan para syekh sufi generasi awal -yang dalam pandangannya masih teguh menjaga jalan sufi ini tetap dalam bingkai wahyu dan tidak dipengaruhi oleh ide-ide asing-.



DAFTAR PUSTAKA

1. Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam Harun, Pustaka Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan kesebelas, Agustus 2004.
2. Abdul Al Hadi, Ibnu, Tahqiq: Muhammad Hamid al-Faqy Al-‘Uqud al-Durriyah fi Manaqib Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah‘, Kairo, Tahun 1357 H/1937 M.
3. Muhammad Sayyid Ahmad, Abdul al Fattah, DR. Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, Dar al-Wafa’, Kairo, Cetakan pertama. 1420 H/ 2000 M.
4. Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam jilid 4 , Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cetakan kelima, 2001

Ilmu Jiwa Belajar PAI

BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu Pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar, tidak hanya dilakukan di bangku sekolah (pendidikan formal), tetapi juga dilakukan di luar bangku sekolah (pendidikan non-formal) terutama nampak dalam hubungan antar manusia yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari sehingga perlu adanya proses belajar untuk membantu mengembangkan kemampuan. Pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikembangkan melalui kajian ini ditunjukan untuk mencapai keserasian dan keselarasan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam belajar, manusia selalu berusaha menggunakan segala potensi yang ada dan dimilikinya, baik fisik maupun spikis, ia mempunyai faktor – faktor yang bisa mendorong manusia untuk giat dan rajin belajar demi memperoleh kecerdasan/pengetahuan yang diperlukannya. Faktor itu bisa berupa faktor internal dan juga faktor eksternal. Faktor internal adalah kesadaran dari diri seseorang sendiri untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan termasuk kecerdasan, sedangkan faktor eksternal adalah suatu dorongan atau motivasi dari orang lain atau lingkungan sekitar yang menyebabkan seseorang itu giat dan rajin untuk memperoleh suatu pengetahuan.
Kecerdasan yang diperoleh dengan belajar baik dari pendidikan formal maupun pendidikan non formal menghasilkan berbagai macam kecerdasan antara lain bisa berupa kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial serta kecerdasan bahasa dan sebagainya yang tentu sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia di masyarakat. Untuk itu kami ingin mengupas tentang seberapa besar pengaruh belajar terhadap kecerdasan, dan seberapa pentingkah belajar untuk menemani perjalanan hidup manusia di dunia? Untuk lebih jelaskan kami akan bahas pada bab berikutnya.

BAB II
PENGARUH BELAJAR TERHADAP KECERASAN

Belajar adalah suatu usaha untuk mencari ilmu pengetahuan dengan cara mempelajari lewat buku-buku, menerima pelajaran disekolah baik formal maupun non formal. Jadi belajar adalah suatu usaha untuk memperoleh kepandaian (kecerdasan) dan pemahaman, sehingga ada perubahan yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang hal itu disebabkan oleh adanya pengalaman. Manusia tidak akan memperoleh suatu pengetahuan jika ia tidak melakukan aktifitas yang disebut dengan belajar. Dari pengertian diatas dapat dikatakan yang dimaksud dengan belajar adalah suatu proses yang berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi yang disebabkan oleh pengalamannya secara berulang-ulang dalam situasi dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau keadaan sesaat seseorang (misalnya : kelelahan, kebingungan dan lain sebagainya).
Faktor faktor yang mempengaruhi proses belajar : Secara umum factor-faktor yang mempengaruhi proses hasil belajar dibedakan atas dua kategori, yaitu factor internal dan factor eksternal. kedua factor tersebut saling mempengaruhi dalam proses individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar.
A. Faktor Internal
Factor internal adalah factor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi hasil belajar individu. Factor-faktor internal ini meliputi factor fisiologis dan factor psikologis.
1. Factor fisiologis
Factor-faktor fisiologis adalah factor-factor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Factor-factor ini dibedakan menjadi dua macam.
Pertama, keadaan fisik/jasmani. Keadaan fisik/jasmani pada umumnya sangat memengaruhi aktivitas belajar seseorang . kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan belajar individu. Sebaliknya, kondisi fisik yang lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Oleh karena itu keadaan fisik/jasmani sangat mempengaruhi proses belajar. Kedua, keadaan fungsi jasmani/fisiologis. Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologis pada tubuh manusia sangat mempengaruhi hasil belajar, terutama panca indra. Panca indra yang berfungsi dengan baik akan mempermudah aktivitas belajar dengan baik pula. dalam proses belajar, merupakan pintu masuk bagi segala informasi yang diterima dan ditangkap oleh manusia. Sehingga manusia dapat menangkap dunia luar. Panca indra yang memiliki peran besar dalam aktivitas belajar adalah mata dan telinga.
2. Factor psikologis
Factor –faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Beberapa factor psikologis yang utama mempengaruhi proses belajar adalah motifasi, minat, sikap dan bakat.
a) Motivasi
Motivasi adalah salah satu factor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar siswa. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat. Motivasi juga diartikan sebagai pengaruh kebutuhan-kebutuhan dan keinginan terhadap intensitas dan arah perilaku seseorang. Dari sudut sumbernya motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsic dan motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsic adalah semua factor yang berasal dari dalam diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca, karena membaca tidak hanya menjadi aktifitas kesenangannya, tapi bisa jadi juga telah mejadi kebutuhannya. Motivasi ekstrinsik adalah factor yang datang dari luar diri individu tetapi memberi pengaruh terhadap kemauan untuk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orangtua, dan lain sebagainya.

b) Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Dalam konteks belajar di kelas, seorang guru atau pendidik lainnya perlu membangkitkan minat siswa agar tertarik terhadap materi pelajaran yang akan dihadapinya atau dipelajarinya.
c) Sikap
Dalam proses belajar, sikap individu dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajarnya. Sikap adalah gejala internal yang mendimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relative tetap terhadap obyek, orang, peristiwa dan sebagainya, baik secara positif maupun negative. Sikap siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh perasaan senang atau tidak senang pada performan guru, pelajaran, atau lingkungan sekitarnya. Dan untuk mengantisipasi munculnya sikap yang negative dalam belajar, guru sebaiknya berusaha untuk menjadi guru yang professional dan bertanggungjawab terhadap profesi yang dipilihnya.
d) Bakat
Faktor psikologis lain yang mempengaruhi proses belajar adalah bakat. Secara umum, bakat (aptitude) didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Berkaitan dengan belajar, Slavin mendefinisikan bakat sebagai kemampuan umum yang dimiliki seorang siswa untuk belajar. Dengan demikian, bakat adalah kemampuan seseorang menjadi salah satu komponen yang diperlukan dalam proses belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar ia akan berhasil.
B. Factor eksogen/eksternal
Selain karakteristik siswa atau factor-faktor endogen, factor-faktor eksternal juga dapat mempengaruhi proses belajar siswa. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu factor lingkungan social dan factor lingkungan non sosial.
1) Lingkungan social
Lingkungan social sekolah, seperti guru, administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik di sekolah. Perilaku yang simpatik dan dapat menjadi teladan seorang guru atau administrasi dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk belajar.
Lingkungan social masyarakat. Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan mempengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan anak terlantar juga dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilkinya.
Lingkungan social keluarga. Lingkungan ini sangat mempengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orang tua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.
2) Lingkungan non social.
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial adalah : Pertama Lingkungan alamiah, seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana yang sejuk dan tenang. Lingkungan alamiah tersebut merupakan factor-faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Kedua Factor instrumental, yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar, lapangan olah raga dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah, buku panduan, silabi dan lain sebagainya.
Selanjutnya adalah mengenai Kecerdasan / Intelegensia Siswa.
Pada umumnya kecerdasan diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik dalam mereaksikan rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat. Dengan demikian, kecerdasan bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja, tetapi juga organ-organ tubuh lainnya. Namun bila dikaitkan dengan kecerdasan, tentunya otak merupakan organ yang penting dibandingkan organ yang lain, karena fungsi otak itu sebagai organ pengendali tertinggi (executive control) dari hampir seluruh aktivitas manusia. Menurut Maclean, otak manusia memiliki tiga bagian dasar yang seluruhnya dikenal sebagai triune brain/three in one brain. Bagian pertama adalah batang otak, bagian kedua sistem limbik dan yang ketiga adalah neokorteks . Kecerdasan dapat juga diartikan sebagai kapasitas seseorang untuk memperoleh pengetahuan (yakni belajar dan memahami), mengaplikasikan pengetahuan (memecahkan masalah), dan melakukan penalaran abstrak .
Kecerdasan dapat dibagi dalam tiga macam kecerdasan , yang dapat kami jelaskan sebagai berikut :
a) IQ (Intelligent Quotient )
IQ ( Intelligent Quotient) merupakan tingkat kecerdasan manusia yang ditinjau dari kecerdasan intelektual, berupa kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio. Ia merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan mengolah infomasi menjadi fakta. Orang yang kecerdasan intelektualnya baik, baginya tidak ada informasi yang sulit, semuanya dapat disimpan dan diolah, pada waktu yang tepat dan pada saat dibutuhkan diolah dan diinformasikan kembali. Proses menerima , menyimpan, dan mengolah kembali informasi, (baik informasi yang didapat lewat pendengaran, penglihatan atau penciuman) biasa disebut "berfikir".
b) EQ ( Emotional Quotient )
EQ ( Emotional Quotient) merupakan tingkat kecerdasan manusia yang ditinjau dari kecerdasan emosional, berupa kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Dapat dikatakan bahwa EQ adalah kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang baik, baginya infomasi tidak hanya didapat lewat panca indra semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni suara hati. Malahan sumber infomasi yang disebut terakhir akan menyaring dan memilah informasi yang didapat dari panca indra.
Substansi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya, dapat dimengerti kenapa orang yang EQ-nya baik, sekaligus kehidupan sosialnya juga baik.
c) SQ (Spiritual Quotient )
SQ ( Spiritual Quotient ) merupakan tingkat kecerdasan manusia yang ditinjau dari kecerdasan spiritual berupa kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan ikhlas. SQ adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat .

BAB III
PENUTUP

Dari penjelasan diatas yang dapat kami simpulkan adalah Kecerdasan merupakan factor psikologis yang paling penting dalam proses belajar siswa, karena itu menentukan kualitas belajar siswa. Semakin tinggi inteligensi (kecerdasan) seorang individu, semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat intelegensi (kecerdasan) individu, semakin sulit individu itu mencapai kesuksesan belajar. Oleh karena itu, perlu bimbingan belajar dari orang lain, seperti guru, orang tua, dan lain sebagainya untuk memperoleh hasil belajar yang maksimal. Namun yang perlu diingat, dalam belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pengetahuan/pelajaran yang diberikan, sehingga dalam setiap individu juga terdapat perbedaan dalam hal kecerdasannya. Karena belajar itu sangat mempengaruhi kepandaian/kecerdasan seseorang sehingga jika setiap individu memiliki daya tangkap yang berbeda maka kecerdasan/kepandaian yang diperoleh juga berbeda.
Manusia yang sudah belajar terus namun belum juga memperoleh kecerdasan/pengetahuan, itu berarti kualitas otak (tingkat kecerdasan) individu itu perlu dipertanyakan. Tingkat kecerdasan manusia itu dapat dibagi atas beberapa bagian :
1) Kelompok kecerdasan lemah mental (mentally defective) berada pada IQ 20—IQ 69, yang termasuk dalam kecerdasan tingkat ini antara lain debil, imbisil, idiot.
2) Kelompok batas lemah mental (borderline defective) berada pada IQ 70—IQ 79
3) Kelompok rata-rata rendah (low average) merentang antara IQ 80—IQ 89
4) Kelompok rata-rata (average) merentang antara IQ 90—IQ 109
5) Kelompok rata-rata tinggi (high average) merentang anatara IQ 110—IQ 119
6) Kelompok kecerdasan superior merenytang anatara IQ 120—IQ 139
7) Kelompok kecerdasan amat superior (very superior) merentang antara IQ 140—IQ 169
Informasi tentang taraf kecerdasan seseorang merupakan hal yang sangat berharga untuk memprediksi kemampuan belajar seseorang. Pemahaman terhadap tingkat kecerdasan peserta didik akan membantu mengarahkan dan merencanakan bantuan yang akan diberikan kepada siswa. Jadi, belajar dan kecerdasan itu memiliki hubungan yang sangat dekat yakni untuk memperoleh kecerdasan manusia perlu belajar dan untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal, manusia juga perlu mengetahui tingkat kecerdasannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Admin, “Kecerdasan Emosional, Moral, Spiritual” (online) http://educasi. kompasiana.com/ 2010/12/07/kecerdasan-emosional-moral-spiritual/ diakses pada tanggal 28 Maret 2011
2. George Boeree, “Metode pembelajaran dan pengajaran”, (Yogyakarta : Ar ruzz Media, 2009)
3. Oemar Hamalik, “Proses Belajar Mengajar”, (Jakarta: Bumi Aksara,2009)
4. Radix Hidayat “Faktor-faktor Pendukung Kegiatan Belajar” (online) http://rumah belajaritb.wordpress.com / 2008/07/17/faktor-faktor-pendukung-kegiatan-belajar/ di akses pada tanggal 28 Maret 2011
5. Sardiman, “interaksi & Motivasi Belajar Mengajar”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001)
6. Yasin Nur Falah, “Bahan Ajar Ilmu Jiwa Belajar PAI”, (Kediri: IAIT Press, 2008)

makalah pendidikan

kata pengantar
Alhamdullilah, kami panjatkan ke hadirat Illahi Robbi, yang telah memberikan rahmat dan taufiqNya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan buku ajar ini. Shalawat serta salam kami haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, karena beliaulah yang telah memberikan kita petunjuk dan jalan yang terang.
Dengan ditulisnya buku mata pelajaran agama ini, diharapkan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau SLTP berciri khas islam dapat memberikan nilai tambah dalam bidang keagamaan bagi siswanya dalam rangka meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM). Diharapkan siswa MTs memiliki kepribadian muslim yang mapan setelah menyelesaikan program pembelajarannya di MTs.
Penyelesaian penulisan buku ini tak lepas dari segala bantuan berbagai pihak yang selama ini telah membantu penulis. Untuk itu secara khusus kami sampaikan terima kasih kepada : A. Jauhar Fuad, M.Pd.I selaku Dosen Pembimbing Mata Kuliah Media Pengajaran, Suami dan Anakku yang selalu memberi dukungan, Kedua Orangtuaku dan semua teman-teman yang terkasih.
Dalam penulisan buku ini, disadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan terutama dalam bidang isi dan sistematika uraiannya. Maka dari itu, tegur sapa dan koreksi serta saran dari semua pihak sangat diharapkan guna perbaikan dan penyempurnaan buku ini, sehingga kedepan akan diusahakan perbaikan dan penyempurnaan sebagaimana mestinya.
Kami harapkan buku ajar ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya, sehingga membuahkan hasil sebagaimana diharapkan.

Kediri, Mei 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................................... 1
Daftar isi ................................................................................................................................... 2
Silabus ...................................................................................................................................... 3

BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................................... 4

BAB II : AKHLAK TERPUJI TERHADAP ALLAH
1. Ikhlas ............................................................................................................... 6
2. Khauf................................................................................................................ 7
3. Taubat.............................................................................................................. 8

BAB III : AKHLAK TERCELA TERHADAP ALLAH
1. Riya’................................................................................................................ 11
2. Kufur .............................................................................................................. 16
3. Syirik................................................................................................................. 18
4. Nifaq ................................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 26

STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR
AQIDAH AKHLAK KELAS VII

NO STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR

1.
Menerapkan akhlak terpuji kepada Allah dan menghindari akhlak tercela kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari.
1. Menjelaskan pengertian dan pentingnya ikhlas, khauf, dan taubat.
2. Menunjukkan dalil naqli akhlak terpuji ikhlas, khauf, dan taubat.
3. Mengidentifikasi bentuk dan contoh perilaku ikhlas, khauf, dan taubat.
4. Membiasakan diri berprilaku ikhlas, khauf dan taubat dalam kehidupan sehari-hari.
5. Menjelaskan pengertian riya, kufur, syirik, dan nifaq.
6. Menunjukkan dalil akhlak tercela terhadap Allah seperti riya, kufur, syirik dan nifaq
7. Mengidentifikasi bentuk dan contoh-contoh perbuatan riya, kufur, syirik dan nifaq
8. Membiasakan diri untuk menghindari berakhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan Agama Islam (PAI) bertujuan untuk meningkatkan keimanan, penghayatan dan pengalaman siswa tentang agama Islam sehingga menjadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Alisuf : 1999, 75). Namun dalam hal ini Pendidikan Agama Islam yang akan kami bahas adalah mata pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah, khususnya Madrasah Tsanawiyah. Karena menurut hemat penulis mata pelajaran aqidah akhlak sebagai salah satu rumpun pelajaran Agama dan berkaitan secara langsung dengan tingkah laku siswa. Hubungan aqidah dan akhlak sangat erat. Aqidah adalah dasar yang diyakini oleh setiap muslim dan disebut keimanan, sedang akhlak merupakan pancaran dari aqidah itu dalam diri seseorang.
Mata pelajaran aqidah akhlak bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan peserta didik yang diwujudkan dalam akhlaknya yang terpuji, melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang aqidah dan akhlak Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dan meningkat kualitas keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Pengertian aqidah akhlak terdiri dari dua kata yaitu aqidah dan akhlak yang mempunyai pengertian secara terpisah. Aqidah berasal dari kata aqoid ( عقائد) bentuk jamak dari kata (عقيده) yaitu sesuatu yang wajib dipercayai atau diyakini hati tanpa keraguan (Mahmud Yunus : 1973, 275). Aqidah menurut syara’ ialah : iman yang kokoh terhadap segala sesuatu yang disebut dalam Al-Qur’an dan Hadits shahih yang berhubungan dengan tiga sendi Aqidah Islamiyah, yaitu : Ketuhanan, Kenabian, dan Alam kebangkitan. Sedangkan Akhlak dilihat dari segi bahasa adalah berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata Khuluk (خلق) yang artinya perangai atau tabiat (Humaidi : 1982, 7). Dalam ensiklopedi pendidikan dikatakan bahwa akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khalik-Nya dan terhadap sesama manusia (Soegarda: 1976, 9). Sementara itu Imam Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin menyatakan Akhlak adalah sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang

menimbulkan segala perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan.
Dalam kurikulum 2004 materi yang terdapat dalam ruang lingkup Aqidah akhlak mencakup : Aspek aqidah terdiri atas keimanan kepada sifat Wajib, Mustahil dan Jaiz Allah, keimanan kepada kitab Allah, Rasul Allah, sifat-sifat dan Mu’jizat-Nya dan Hari Akhir, Aspek akhlaq terpuji yang terdiri atas khauf, taubat, tawadlu, ikhlas, bertauhid, inovatif, kreatif, percaya diri, tekad yang kuat, ta’aruf, ta’awun, tafahum, tasamuh, jujur, adil, amanah, menepati janji dan bermusyawarah dan Aspek akhlaq tercela meliputi riya’, kufur, syirik, nifaq, munafik, namimah dan ghibah.
Akhlak dalam wujud pengamalannya di bedakan menjadi dua: akhlak terpuji dan akhlak yang tercela. Jika sesuai dengan perintah Allah dan rasulnya yang kemudian melahirkan perbuatan yang baik, maka itulah yang dinamakan akhlak yang terpuji, sedangkan jika ia sesuai dengan apa yang dilarang oleh Allah dan rasulnya dan melahirkan perbuatan-perbuatan yang buruk, maka itulah yang dinamakan akhlak yang tercela. Akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji demikian Agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan menjangkau hakekatnya. Akhlak Al-mazmumah (akhlak yang tercela) adalah sebagai lawan atau kebalikan dari akhlak yang baik / terpuji sebagaimana tersebut di atas.
Dari penjelasan diatas, tulisan ini berusaha menjelaskan tentang akhlak terpuji terhadap Allah dan Akhlak tercela terhadap Allah serta dalil-dalil yang menyebutkannya, akhlak terpuji kepada Allah tentang ikhlas, khauf dan taubat sedangkan akhlak tercela terhadap Allah seperti riya, kufur, syirik dan nifaq. Dan hal ini diharapkan dapat membentuk peserta didik beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta memiliki akhlaq mulia. Mengembangkan dan membangun akhlak yang mulia merupakan tujuan sebenarnya dalam setiap pelaksanaan pendidikan. Sejalan dengan tujuan itu maka semua mata pelajaran atau bidang studi yang diajarkan kepada peserta didik haruslah memuat pendidikan akhlak dan oleh karena itu setiap guru mengemban tugas menjadikan dirinya dan peserta didiknya berakhlak mulia.

A. IKHLAS
Ikhlas adalah melakukan suatu pekerjaan baik semata-mata karena Allah. Orang yang ikhlas tidak mengharapkan sesuatu balasan, kecuali dari Allah, niat yang ikhlas menjadi syarat diterimanya ibadah, baik ibadah dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Contoh sholat, puasa, zakat, shodaqoh, membaca Al Qur’an. Firman Allah :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُ وااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ (البينة : 5)
Artinya :
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS Al Bayyinah : 5)
لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنَ الْعَمَلِ اِلَّا مَا كَا نَ لَهُ خَا لِصًا وَابْتَغِى بِهِ وَجْهَهُ (رواه ابن ماجه)
Artinya :“Allah tidak akan menerima sedikitpun dari amal perbuatan kecuali yang dikerjakan dengan ikhlas dan hanya mengharap keridhaan Allah” (HR Ibnu Majah)
B. KHAUF
Khauf artinya takut kepada allah dengan mempunyai perasaan khawatir akan azab Allah yang akan ditimpakan kepada kita. Maka pengertian takut kepada Allah adalah berusaha untuk mendekat kepada Allah. Cara untuk dekat kepada Allah yaitu mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Firman Allah Surat An-Nur 52 :
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ, وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْفَا ئِزُوْنَ (النور : 52)
Artinya :
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan”

Alasan manusia takut kepada Allah :
1) Karena kekuasaan dan keagungan Allah
2) Karena balasan Allah
3) Karena taufiq dan hidayah yang diberikan kepada manusia
4) Karena rahmat dan nikmat yang dilimpahkan kepada manusia
Orang yang takut kepada Allah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1) Mereka yang beriman kepada yang ghaib
2) Mereka yang mendirikan sholat
3) Mereka yang menafkahkan sebagian rezekinya
4) Mereka yang beriman kepada Allah
5) Mereka yang percaya kepada hari kiamat

Dalam hadits Rasulullah disebutkan :
ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ : خَشْيَه اللهِ فِى السِّرِّ وَالعَلَانِيَةِ , وَالعَدْلُ فِى الرِّضَا وَالْغَضَبِ , وَالْقَصْدُ فِى الفَقْرِ وَالغِنَى (رواه ابو الشيخ)
Artinya :
“Ada tiga perkara yang dapat menyelamatkan manusia yaitu takut kepada Allah di tempat yang tersembunyi maupun yang terang, berlaku adil pada waktu rela maupun pada waktu marah, hidup sederhana pada waktu kaya maupun pada waktu miskin” (HR Abu syaikh).

C. TAUBAT
Taubat dan Nadam mempunyai hubungan yang erat tidak bisa di pisahkan, sebab seseorang yang bertaubat tidak akan mengulangi lagi karena ada unsur penyesalan (nadam). Taubat adalah meninggalkan perbuatan dosa dengan penyesalan yang diiringi niat untuk tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut. Firman Allah dalam surat At Tahrim : 8 :
يَأَيُّهَا النَّبِى جَهِدِ الكُفَّارَوَالْمُنَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَ هُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ (التحريم : 8)
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu menghapuskan kesalahan-kesalahan dan akan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawah sungai-sungai”.
(QS At Tahrim : 8)
Adapun taubat yang baik adalah menyesali perbuatan dosa didalam hati, memohon ampun dengan lisan dan banyak membaca istighfar. Setelah melakukan penyesalan dalam hati dan berdoa, maka diikuti dengan perubahan sikap dan perbuatan, yakni meninggalkan perbuatan yang buruk dan menggantikan dengan perbuatan yang baik. Yang perlu diperhatikan agar taubat itu diterima oleh Allah SWT, yaitu :
a) Menghentikan perbuatan maksiat dan dosa
b) Menyesali segala dosa yang diperbuat
c) Berjanji dengan sepenuh hati untuk tidak mengulangi perbuatan dosa
d) Jika dosa itu berkaitan dengan orang lain, maka harus minta maaf atau menggantinya terlebih dahulu kepada orang yang bersangkutan.
Adapun bagi orang yang bertaubat itu ada 4 tingkatan, disesuaikan dengan kondisi jiwanya :
a) Taubat nasuha yaitu orang yang bertaubat dengan sebenar-benar taubat. Semua perbuatan dosa yang dilakukan tidak diulangi lagi selama hidupnya, kecuali kesalahan-kesalahan kecil yang tidak disengaja dilakukannya. Orang tersebut memiliki nafsu mutmainnah yaitu orang yang jiwanya tenang.
b) Orang yang bertaubat, semua dosa besar tidak pernah diulangi. Namun terkadang melakukan dosa kecil tanpa sengaja, tapi ia cepat sadar dan taubat, dengan selalu waspada agar tidak terulang. Jiwa yang selalu memperingatkan diri ini disebut nafsu lawwamah.
c) Orang yang bertaubat dengan disertai tidak mengulangi lagi. Namun ia sering tidak berdaya melawan hawa nafsu untuk berbuat dosa. Setiap perbuatan dosa ia segera melakukan taubat. Jiwa seperti ini disebut nafsu musawalah
d) Orang yang bertaubat, setelah itu melakukan perbuatan dosa dan tidak ada penyesalan dalam dirinya atas dosa yang dilakukan dan terus menerus melakukan maksiat. Jiwa seperti itu dikuasai nafsu yang jahat, dan disebut nafsu amarah.

A. RIYA’
1. Pengertian Riya’
Kata riya’ berasal dari bahasa Arab yaitu (الرِّيَاءُ) yang berarti memperlihatkan atau pamer, yaitu memperlihatkan sesuatu kepada orang lain, baik barang maupun perbuatan baik yang dilakukan, dengan maksud orang lain dapat melihatnya dan akhirnya memujinya. Riya’ adalah berbuat kebaikan/ibadah dengan maksud pamer kepada manusia agar orang mengira dan memujinya sebagai orang yang baik atau gemar beribadah seperti shalat, puasa, sedekah dan sebagainya. Dengan kata lain Riya’ adalah beramal bukan karena Allah tetapi karena ingin dilihat dan dipuji oleh manusia. Nama lain daripada riya’ adalah sum’ah. Kalau riya’ itu memperlihatkan amal sedangkan sum’ah itu menceritakan amal kebajikan agar memperoleh kedudukan dihati mereka dan selalu memperdengarkan segala amalan yang telah dilakukan supaya orang lain memberi perhatian dan keistimewaan.
Ciri-ciri riya’ :
Orang yang riya’ berciri tiga, yakni apabila dihadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. Sedangkan orang munafik ada tiga tanda yakni apabila berbicara bohong, bila berjanji tidak di tepati, dan apabila diamanati dia berkhianat. (HR.Ibnu Babawih)
Orang yang riya’ maka amal perbuatannya akan sia-sia belaka.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia” (QS.Al Baqarah : 264)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat karena riya’. (Al Maa’uun : 4-6)
“Sesungguhnya riya’ adalah syirik yang kecil” (HR Ahmad dan Al Hakim)
Imam Al Ghozali mengumpamakan orang yang riya’ itu sebagai orang yang malas ketika dia hanya berdua saja dengan rajanya. Namun ketika ada budak sang raja hadir, baru dia bekerja dan berbuat baik untuk mendapatkan pujian dari budak-budak tersebut. Nah orang riya juga demikian, ketika hanya berdua dengan Allah sang Raja Maha Raja, dia malas dan enggan beribadah, tapi ketika ada manusia yang tak lebih dari sekedar hamba/budak Allah, maka dia jadi rajin shalat, bersedekah dan sebagainya untuk mendapat pujian dari para budak. Penyakit riya’ ini selalu ingin mendapatkan sanjungan dan pujian dari orang lain, serta bersikap munafik karena suka menutup-nutupi kelemahan dan hanya menonjolkan kelebihan saja. Agar terhindar dari riya’ kita harus meniatkan segala amal kita untuk Allah ta’ala (Lillahi ta’ala).
2. Bentuk-bentuk (contoh) perbuatan riya’
Penyakit riya’ dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a) Riya’ jali yaitu ibadah atau kebaikan yang sengaja dilakukan didepan orang lain dengan tujuan tidak untuk mengangungkan Allah, melainkan demi mencari pujian dari orang lain
b) Riya’ khafi yaitu melakukan ibadah atau kebaikan secara terang-terangan dengan maksud agar ia dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat. Riya’ ini merupakan penyakit hati yang sangat halus atau samar
Bentuk-bentuk (contoh) perbuatan riya’ antara lain sebagai berikut:
a) Seorang siswa mau melaksanakan tugas piketnya dengan baik sesudah guru masuk ke kelas, dengan harapan guru menilai bahwa siswa tersebut tergolong siswa yang rajin melaksanakan tugas
b) Seseorang menyantuni anak yatim dihadapan banyak orang agar orang banyak menilai dirinya sebagai orang dermawan dan baik hati.
Selain contoh diatas, perbuatan riya itu bisa timbul dalam berbagai kegiatan antara lain:
a) Riya’ dalam beribadah
Apabila ada diantara jama’ah atau karena dilihat orang biasanya memperlihatkan kekhusu’an, ruku’, sujud dipanjangkan begitu juga dengan wirid dan do’anya, dengan harapan ingin mendapatkan pujian sebagai orang yang tekun beribadah.
b) Riya’ dalam bersedekah
Memberikan sedekah bukan karena ingin menolong orang dengan ikhlas, akan tetapi karena ingin dicap sebagai dermawan dan pemurah.
c) Riya’ dalam berpakaian
Memakai pakaian yang bagus, perhiasan yang mahal dan beraneka ragam, dengan harapan ingin disebut dengan orang yang kaya, mampu, melebihi orang lain.
d) Riya’ dalam berbagai kegiatan
Bekerja seolah-olah bersemangat, padahal dalam hatinya tidak demikian. Rajin bekerja apabila ada pujian tetapi apabila tidak ada yang memuji, semangatnya menjadi turun. Orang yang riya’ biasanya bersifat sombong, angkuh, seolah-olah dirinya yang paling mampu, paling kaya, paling baik, paling pandai dan sebagainya.
3. Larangan berbuat riya’
Riya’ termasuk larangan dalam islam, karena Allah SWT dengan telah tegas melarang perbuatan ini. Allah berfirman sebagai berikut :
يَاَيُّهَا الَذِيْنَ أَمَنُوْ الَا تُبْطِلُواصَدَقَتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأَذَى كَا لَّذِي يُنْفِقُ مَا لَهُ رِئَآءَ النَّا سِ. (البقراه : 264)
Artinya :
“Hai, orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia” (QS.Al Baqarah : 264)
Firman diatas secara terang melarang kita merusak pahala amal dengan cara menyebut-nyebut atau menyakiti hati orang yang menerimanya, apapun dan seberapapun kebaikan yang dilakukan seseorang apabila diikuti dengan dua hal tersebut, sia-sialah amalnya. Orang-orang yang riya’ juga tergolong orang yang mendustakan agama, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Maa’uun ayat 1-7 yaitu :
أَرَءَيْتَ الَّذِى يُكَذِّ بُ بِالدِّ يْنِ . فَذَ لِكَ الَّذِى يَدُعُّ الْيَتِيْمَ . وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ . فَوَيْلُ لِّلْمُصَلِّيْنَ . الَّذِ يْنَ هُمْ عَنْ صَلَا تِهِمْ سَاهُوْنَ . الَّذِيْنَ هُمْ يُرَآءُوْنَ . وَيَمْنَعُوْنَ الْمَا عُوْنَ .
(الماعون : 1-7)
Artinya :
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama ? itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari salatnya, yang berbuat karena riya’. Dan enggan (menolong) barang berguna”.(QS.Al Maa’uun : 1-7)
4. Akibat buruk riya’
Setiap pelanggaran terhadap agama, pasti berakibat buruk bagi pelakunya. Adapun akibat buruk riya’ antara lain sebagai berikut :
a) Menghapus pahala amal baik
b) Tidak selamat dari bahaya kekafiran karena riya’ sangat dekat hubungannya dengan sikap kafir
c) Mendapat dosa besar riya’ termasuk perbuatan syirik. Rasullulah SAW bersabda :
أَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ فَسُئِلَ عَنْهُ فَقَالَ الرِّيَاءُ.
Artinya :“Sesuatu yang amat aku takuti yang menimpa kamu ialah syirik kecil. Nabi di tanya tentang hal itu, maka beliau menjawab ialah riya’ “.
5. Perilaku menghindari riya’
Perilaku menghindari riya’ antara lain :
a) Melatih diri untuk beramal secara ikhlas, walaupun sekecil apapun yang dilakukan
b) Mengendalikan diri agar tidak merasa bangga apabila ada orang lain yang memuji amal baik yang dilakukan
c) Menahan diri agar tidak emosi apabila ada orang lain yang meremehkan kebaikan yang dilakukan
d) Tidak suka memuji kebaikan orang lain dengan berlebih-lebihan karena hal itu dapat mendorong pelakunya berbuat riya’
e) Melatih diri untuk bersedekah secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari sanjungan orang lain

B. KUFUR
1. Pengertian Kufur
Pengertian kufur menurut bahasa berasal dari kata: kafara ( كفر ) artinya menutupi sesuatu, tidak berterimakasih dan ingkar. Sedangkan pengertian kufur menurut istilah adalah mengingkari Allah atas segala karunia yang telah diberikan kepadanya baik berupa petunjuk agama, karunia pancaindra, rizki, rahmat dan berbagai nikmat yang tak terhitung banyaknya dilimpahkan kepada manusia. Allah SWT berfirman :
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَ نَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِ لَشَدِيْدٌ (ابراهم : 7)
Artinya :
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti kami akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari nikmatku (kufur) maka sesungguhnya azabku sangat pedih” (Q.S.Ibrahim ayat : 7)
Manusia yang kufur yakni manusia yang mengingkari nikmat Allah adalah manusia yang tidak berterimakasih kepada Allah. Manusia semacam ini akan diazab (disiksa) Allah dengan azab yang pedih. Azab Allah ini bisa terjadi di dunia dan pasti terjadi di akhirat. Adakalanya manusia yang kufur langsung diazab Allah didunia, adakalanya Allah masih memberi kesempatan untuk bersyukur tidak segera mengazabnya. Tetapi apabila memang manusia itu tidak lagi dapat bersyukur maka azab Allah akan segera diturunkan dimuka bumi ini dengan berbagai bencana, seperti kelaparan, penyakit yang tidak dapat disembuhkan, bencana alam dan sebagainya.
Contoh perbuatan yang dapat menyebabkan seorang manusia itu terperosok dalam kekufuran adalah tidak mengakui kebenaran islam, beriman tetapi tidak patuh, tidak percaya adanya Allah, mengingkari kebenaran Allah dan mengingkari nikmat Allah.
2. Bentuk-bentuk dan contoh perbuatan kufur
a) Kufur Zindiq adalah tidak mengakui kebenaran islam, tetapi berpura-pura sebagai pemeluk islam dengan tujuan menghancurkan islam
b) Kufur Inadi adalah beriman kepada Allah tetapi tidak patuh dalam melaksanakan hukum-hukum Allah
c) Kufur Muththil adalah tidak percaya sama sekali akan adanya Allah
d) Kufur Zuhud adalah mengingkari akan kebenaran agama Allah
e) Kufur Nikmat adalah mengingkari nikmat Allah
Sebagai mana firman Allah SWT dalam Surat An Nahl ayat : 18
وَاِنْ تَعُدُّ وَانِعْمَةَ اللهِ لَا تَحْصُوْهَا إِنَّ اللهَ لَغَفُوْرٌرَحِيْمٌ (النحل : 18)
Artinya :
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An-Nahl : 18)
Serta dalam Surat Al Zumar ayat : 3
اِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كدِ بٌ كَفَّاٌر (الزمر : 3)
Artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” (Az Zumar : 3)
Manusia yang mengingkari nikmat Allah SWT disebut orang kafir, sebab manusia disebut tidak berterimakasih kepada Allah yang telah memberikan nikmat kepadanya. Allah telah banyak memberikan nikmat kepada manusia seperti nikmat sehat, nikmat makan, nikmat tidur, nikmat nafas, nikmat melihat, nikmat mendengar dan sebagainya.
Adapun contoh dari kufur nikmat adalah :
a) Orang sehat selalu maksiat, kesehatannya digunakan dengan sia-sia
b) Orang kaya selalu berfoya-foya, berjudi, tidak menafkahkan hartanya di jalan Allah
c) Orang kuasa untuk menindas orang lain, bukan untuk menolong orang lain
d) Orang pintar untuk menipu, bukan untuk membangun dan mensejahterakan umat
e) Orang yang dapat melihat, mendengar, berjalan dsb, tidak digunakan untuk beribadah, beramal saleh, malah berbuat kerusakan dan kejahatan.
Manusia yang demikian ini adalah manusia yang mengingkari nikmat Allah yang diberikan kepadanya. Maka manusia yang demikian disebut manusia yang kufur nikmat, manusia yang kufur nikmat akan mendapatkan siksa Allah, baik didunia maupun diakhirat.

C. SYIRIK
1. Pengertian Syirik
Syirik menurut bahasa berasal dari kata syarika ( شَرِكَ ) artinya bersekutu atau berserikat. Sedangkan syirik menurut istilah ialah mempersekutukan Allah dengan yang lain, atau mempersamakan Allah sebagai pencipta (Al Kholik) dengan yang diciptakan (makhluk) baik zat, sifat, kekuasaan dan sebagainya.
Syirik adalah suatu dosa yang sangat besar dan tidak bisa diampuni Allah. Maka orang yang mempersekutukan Allah (Musyrik) adalah orang yang paling celaka dihadapan Allah. Sering manusia terperosok kedalam perbuatan syirik baik disengaja maupun tidak disengaja. Manusia berbuat syirik secara disengaja disebabkan mereka telah mengingkari adanya Allah, mereka dengan sengaja menggantungkan diri kepada kekuatan gaib selain Allah seperti kepada setan, berhala dan sebagainya. Adapula manusia yang mengaku beriman kepada Allah tetapi masih meyakini pula akan kekuasaan lain selain Allah. Keyakinan semacam ini tergolong syirik, walaupun orang itu telah mengerjakan sholat untuk menyembah Allah. Apalagi bila didalam kamar rumahnya masih ada patung-patung atau benda-benda yang dipujanya untuk keselamatan agar terhindar dari malapetaka.
Karena banyaknya kepercayaan-kepercayaan lama yang masih menyelimuti pemikiran manusia dan sering menyebabkan timbulnya syirik, maka masalah syirik ini harus dihindari benar-benar oleh setiap muslim. Dalam keadaan yang kalut, manusia amat mudah sekali terjebak dalam perbuatan syirik. Karena kemiskinan yang menjerat dirinya terkadang lupa pergi ke kuburan, bersemedi mencari kekayaan dengan meminta-minta kepada pohon yang besar, meminta-minta kepada arwah nenek moyang dan sebagainya. Dalam keadaan senang pun manusia terkadang terjebak dalam kemusyrikan. Sebagai contoh ada orang yang percaya bahwa karena burung perkutut yang dipeliharanya itulah banyak mendatangkan rezeki sehingga ia hidup jaya.
Perbuatan syirik yang sering terjadi pada kebanyakan manusia antara lain :
a) Menyembah selain Allah
Yaitu melakukan penyembahan terhadap patung (berhala), matahari, jin, syetan, roh nenek moyang dan sebagainya.
اَفَرَءَ يْتُمُ اللَّتَ وَ الْعُزَّي وَمَنَوةَ الثَّالِثَةَ الْاُخْرى (النجم : 19-20)
Artinya :
“Apakah kamu menganggap berhala lata, uzza dan manat ketiga yang paling akhir (sebagai Tuhan yang lain dari Allah)”. (An Najru : 19-20)
لَاتَسْجُدُ وْالِلشَّمْسِ وَالَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُ وَاللهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ (فصلت : 37)
Artinya :
“Dan janganlah kamu bersujud (menyembah) kepada matahari dan bulan, tetapi bersujudlah kepada yang telah menciptakan keduanya” (Fushilat : 27)

b) Percaya kepada jimat
Percaya bahwa batu cincin dapat menolak kejahatan, keris dapat menyembuhkan penyakit, dan sebagainya yang dianggap sebagai benda yang mempunyai kekuatan gaib sebagai jimat. Sabda Rasullullah SAW :
اِنَّهُ رَاىَ رَجُلًا فِي يَدِهِ خَيْطٌ مِنَ الْحُمَّى فَقَطَعَهُ وَتَلَا قَوْلَهُ تَعَاَلى : وَمَا يُؤْمِنُ اَكْثَرُهُمْ بِاللهِ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ . (رواه ابن حيتم)
Artinya :
“Sesungguhnya dia melihat seseorang yang memakai benang ditangannya untuk menolak sakit panas, maka ia memutuskannya dan membaca firman Allah dan tidaklah beriman kebanyakan mereka kepada Allah tetapi mereka itu orang-orang musyrik” (HR Abu Hatim)
c) Sihir
Yaitu meminta pertolongan kepada syetan atau jin untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang dapat membahagiakan atau mencelakakan manusia lain dengan jampi-jampi atau mantera-mantera. Rasullullah SAW bersabda :
مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً ثُمَّ نَفَتَ فِيْهَا فَقَدْ سَحَرَ وَمَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ
(رواه النسائ)
Artinya :
“Barangsiapa yang melihat suatu ikatan, kemudian menghembusnya, maka sesungguhnya ia telah menyihir dan barangsiapa yang menyihir maka sesungguhnya ia telah musyrik” (HR. An Nasa’i)
d) Tenung
Yaitu melakukan perbuatan menenung atau mendatangi tukang tenun untuk dimintai pertolongan dalam rangka memenuhi keperluannya melalui perbuatan tenung tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim sebagaiberikut :
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَئَلَهُ عَنْ شَئٍ فَصَدَّ قَهُ بِهَا يَقُوْلُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةُ
أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا (رواه مسلم)
Artinya :
“Barangsiapa yang mendatangi tukang tenun, lalu ia menanyakan sesuatu kepadanya, lantas dibenarkan apa yang diucapkannya itu, tidak diterima sholatnya selama 40 hari”.
e) Menganggap diri sebagai Tuhan
Yaitu syirik nafsu, seakan dirinya adalah segala-galanya yang wajib dipuja dan disembah, seperti qorun (orang paling kaya pada zamannya) dan fir’aun (menganggap dirinya Tuhan karena kesombongannya atas pangkat dan kekuasaan)
f) Syirik kecil
Yaitu perbuatan riya, yakni orang yang beramal bukan karena Allah tetapi ingin dipuji orang. Rasullulah SAW bersabda :
أَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ فَسُئِلَ عَنْهُ فَقَالَ الرِّيَاءُ.
Artinya :
“Sesuatu yang amat aku takuti yang menimpa kamu ialah syirik kecil. Nabi di tanya tentang hal itu, maka beliau menjawab ialah riya’ “.

D. NIFAQ
1. Pengertian nifaq
Secara bahasa, kata nifaq (نِفَا قَ) berarti berpura-pura dalam agamanya. Secara istilah berarti sikap yang tidak menentu, tidak sesuai antara ucapan dan perbuatannya. Orang yang mempunyai sifat nifaq disebut munafiq (bermuka dua).
Rasulullah dalam sebuah hadits mengingatkan kepada kita tentang bahaya orang-orang munafiq, dari luar kelihatan baik, tetapi hatinya sangat jahat. Mereka juga pandai bersilat lidah, perkataannya sangat menakjubkan dan meyakinkan, tetapi perbuatannya bertentangan dengan ucapan mereka sendiri. Nifaq menurut syara’ mempunyai arti menampakkan keislaman dan kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Orang yang munafiq itu adalah orang-orang yang keluar dari syari’at. Allah ta’ala menjadikan orang-orang munafiq lebih jelek dari orang-orang kafir. Sebagaimana firman-Nya dalam surat An Nisa:145 sebagai berikut :
إِنَّ الْمُنَفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الاَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْرًا
(النساء : 145)
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An Nisa : 145)
2. Jenis-jenis nifaq
a. Nifaq i’tiqodi (keyakinan)
Nifaq i’tiqodi yaitu nifaq besar, dimana pelakunya menampakkan keislaman tetapi menyembunyikan kekufuran. Jenis nifaq ini menjadikan pelakunya keluar dari agama dan berada didalam kerak neraka. Ada 4 macam nifaq i’tiqodi:
1) Mendustakan Rasulullah atau mendustakan sebagian dari apa yang beliau bawa
2) Membenci Rasulullah atau membenci sebagian apa yang beliau bawa
3) Merasa gembira dengan kemunduran agama Rasulullah
4) Tidak senang dengan kemenangan agama Rasulullah
b. Nifaq ‘amali (perbuatan)
Nifaq ‘amali yaitu melakukan sesuatu perbuatan orang-orang munafiq, tetapi masih ada iman di dalam hati. Nifaq jenis ini tidak mengeluarkan dari agama, tetapi merupakan wasilah (perantara) kepada yang demikian.
Nifaq besar Nifaq kecil
Mengeluarkan pelakunya dari agama islam Tidak mengeluarkan pelakunya dari agama islam
Berbedanya yang lahir dengan yang bathin dalam hal keyakinan Berbedanya yang lahir dengan yang bathin dalam hal perbuatan
Tidak terjadi dari seorang mukmin Bisa terjadi dari seorang mukmin
Pada ghalibnya pelaku nifaq besar tidak bertaubat Pelakunya dapat bertaubat kepada Allah, sehingga Allah menerima taubatnya
Perbedaan antara nifaq besar dan nifaq kecil diantaranya :

3. Larangan bersifat nifaq
Islam melarang umatnya bersifat nifaq. Sebaliknya, islam mewajibkan bersifat jujur atau benar. Allah SWT berfirman sebagai berikut :
يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْااتَّقُوْااللهَ وَقُوْلُوْاقَوْلًاسَدِ يْدًا (الحزاب : 70)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” (QS Al Ahzab: 70)
Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut :
عَنْ عَبْدِاللهِ مَسْعُوْدٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِنَّ الصِّدْ قَ يَهْدِى اِلَى الْبِرِّ وَاِنَّ البِرَّ يَهْدِى اِلَى الْجَنَّةِ وَاِنَّ الرَّجُلَ لَيَسْدُ قُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ صِدِّيْقًا , وَاِنَّ الْكَذِ بَ يَهْدِى اِلَى الفُجُوْرَيَهْدِى اِلَى النَّارِ, وَاِنَّ الرَّجُلَ لِيَكْذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا (متفق عليه)
Artinya :
“Dari Abdullah bin ma’ud, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa surga. Dan seseorang membiasakan dirinya berkata jujur sehingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan dusta membawa kepada kemaksiatan, sedangkan kemaksiatan membawa ke neraka. Dan seorang suka berdusta hingga dicatat disisi Allah sebagai pendusta” (HR Al Bukhari).
4. Akibat buruk sifat nifaq
Sebagaimana akhlak tercela yang lain, nifaqpun berakibat buruk bagi diri sendiri dan orang lain. Adapun akibat buruk sifat nifaq, antara lain sebagai berikut :
a. Bagi diri sendiri
1) Tercela dalam pandangan Allah SWT dan sesama manusia sehingga dapat menjatuhkan nama baiknya sendiri
2) Hilangnya kepercayaan dari orang lain atas dirinya sendiri
3) Tidak disenangi dalam pergaulan hidup sehari-hari
4) Mempersempit jalan untuk memperoleh rezeki karena orang lain tidak mempercayai lagi
5) Mendapat siksa yang amat pedih kelak dihari akhir
b. Bagi orang lain
1) Menimbulkan kekecewaan hati sehingga dapat merusak hubungan persahabatan yang telah terjalin dengan baik
2) Membuka peluang munculnya fitnah karena ucapan atau perbuatannya yang tidak menentu
3) Mencemarkan nama baik keluarga dan masyarakat sekitarnya sehingga merasa malu karenanya.
5. Membiasakan diri menghindari sifat nifaq
Adapun upaya untuk menghindari diri dari sifat nifaq antara lain selalu menyadari bahwa :
a. Nifaq merupakan larangan agama yang harus dijauhi dalam kehidupan sehari-hari
b. Nifaq akan merugikan diri sendiri dan orang lain sehingga dibenci dalam kehidupan masyarakat
c. Nifaq tidak sesuai dengan hati nurani manusia (termasuk hati munafik sendiri)
d. Kejujuran menentramkan hati dan senantiasa disukai dalam pergaulan.


Alisuf Sabri, 1999, Ilmu Pendidikan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya
Depag RI, 1995, Buku Pelajaran Aqidah Akhlak untuk Madrasah Tsanawiyah Jilid 1c, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Depag RI
Humaidi Tatapangsara 1982, Pengantar Kuliah Akhlak, Surabaya: PT Bina Ilmu, Cet. Ke 2
Mahmud Yunus, 1973, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidayat Karya Agung,
Soegarda Purwakartja1976, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung
Tiem Al Azhar, 2008, LKS Aqidah Akhlak kelas VII semester ganjil, Gresik: CV Putra Kembar Jaya
_______________, 2008, LKS Aqidah Akhlak kelas VII semester genap, Gresik: CV Putra Kembar Jaya
Tiem Karima, 2008, LKS Aqidah Akhlak kelas VII semester genap, Solo: Media Karima
Umam Chatibul, dkk, 2003, Aqidah Akhlak untuk Madrasah Tsanawiyah kelas I, Kudus: Muara Kudus

Mimpi apa semalam.......

Hari ini saya mau membahas soal mimpi.. mimpi untuk masa depan..
Semua kesuksesan bermula dari mimpi.. setuju?

Tanpa mimpi-mimpi, hidup jadi terasa hambar...
hihi.. eh tapi bener loh..

Semua orang pasti kan punya tujuan hidup yaa..
Pengen ini pengen itu..
Sekarang, seberapa besar Ana berani bermimpi?

Apa hanya cukup bermimpi punya Blackberry?
Atau berani bermimpi punya mobil mewah?

Mimpi yang kecil itu mudah diraih..
Mimpi yang besar selain susah diraih.. juga lebih mudah lepas..

Bermimpi, Action, Konsisten...

Jadi mimpi saja tidak cukup ya Ana,
pertanyaan selanjutnya, apa yang 'sedang' Ana
lakukan saat ini untuk mencapai impian Ana ?

Di tahun 2003, ketika pendapatan dari internet agak menurun,
saya terpaksa kembali kerja kantoran..
Setiap hari saya pulang pergi ke kantor naik angkot.

Setiap saya ada di dalam angkot, dan melihat mobil Honda Jazz,
saya selalu membayangkan, saya sedang berada di dalam
mobil Honda Jazz tersebut..

Bolak balik saya ucapkan dalam hati, saya tanamkan dalam
pikiran saya.. saya mau mobil Honda Jazz!

Action..
Setiap pulang kantor, saya mengerjakan bisnis saya dari rumah,
saya merintis bisnis saya disela2 capenya kerja kantor dan
mengurus rumah tangga..

Sampai akhir masa kontrak setahun saya, saya 'menolak' untuk
diperpanjang, dan saya fokus ke bisnis saya yang mulai kelihatan
hasilnya..

Konsisten..
Saat itu saya masih punya mimpi memiliki Honda Jazz..
Saya terus bermimpi dan berusaha..
Sampai akhirnya di tahun 2008 saya memiliki mobil impian saya
tanpa memiliki utang cicilan..

5 Tahun? Baru tercapai?
Ya ga papa lah.. yang penting impian saya kan tercapai hehe..

Yang penting di sini adalah, saya berani bermimpi besar,
dan saya melakukan sesuatu untuk mengejar impian saya tersebut..