Selasa, 08 November 2011

Al Ujrah Ala Tho'at


MENJADIKAN CERAMAH SEBAGAI PROFESI
Oleh: al-Faqir Billah M. Safii Gozali

Pembahasan tentang “amplop dai” masuk dalam wilayah pembahasan al-ujrah ‘ala al-thaa’ah, yakni mengambil upah atau imbalan jasa karena melakukan satu kewajiban. Tak terbatas pada dakwah dengan ceramah, termasuk mengajar Al-Qur’an, menjadi khatib, imam shalat, dan muazin). Di kalangan para fuqaha' ada berbagai pendapat mengenai masalah tersebut yang terpecah dalam beberapa kelompok.
Kelompok pertama, membolehkan secara mutlak, dengan alasan bahwa ceramah tidak lain dari kegiatan sebagaimana layaknya seorang guru atau dosen yang mengajar, maka mengambil imbalan dari pekerjaan sepertu itu boleh secara mutlak. Mereka yang mensejajarkan kegiatan berceramah dengan mengajar, mengatakan bahwa amat layak seorang penceramah mendapat honor atau gaji dari usahanya. Termasuk dalam kelompok ini ulama dari mazhab Syafii dan Maliki. Argumentasinya, perbuatan yang dilakukan para dai dan pengajar agama itu memberikan keuntungan bagi si pemberi upah, yaitu berupa ilmu pengetahuan, atau paling kurang informasi berharga. Selain argumen ini, mereka juga mempunyai dalil naqli yang diriwayatkan al-Bukhari, “Sesungguhnya yang berhak untuk kalian ambil upah atasnya adalah Kitab Allah” (al-Qur’an). Bahkan di masa Nabi, orang bisa mengajarkan 10 orang lain untuk bisa sekedar membaca dan menulis, mendapat imbalan yang sangat besar. Bahkan para tawanan perang Badar yang non muslim itu, akan dibebaskan dengan syarat bisa selesai mengajar baca tulis. Padahal kita tahu bahwa tebusan untuk tawanan perang sangat tinggi. Dan itu terbayarkan hanya dengan mengajar baca tulis untuk 10 orang saja. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang mengajarkan ilmunya berhak mendapat honor atau imbalan materi, bahkan dengan nilai yang lumayan menggiurkan.
Kelompok kedua, haram, memandang bahwa ceramah seharusnya tidak sesederhana mengajar seperti guru dan dosen, melainkan ceramah adalah sarana penyebaran ide, fikrah, aqidah, nilai-nilai agama sekaligus nilai-nilai perjuangan. Kalangan ini lebih cenderung menganggap bahwa berceramah dianggap bukan pekerjaan profit eriented, namun lebih sebagai aktifitas seorang nabi kepada kaumnya. Bagi mereka yang berpandangan demikian, maka seorang penceramah tidak layak menerima imbalan berupa materi, sebagaimana seorang nabi yang tidak berharap sisi finansial dari aktifitasnya itu. Dan para nabi memang tidak meminta upah, honor, gaji, atau amplop.
Mereka pun berpedoman kepada ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan ketidaklayakan menerima honor.
 “Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kamu mengerti?”. (QS. Huud: 51)
“Katakanlah, “Aku tidak meminta upah sedikit pun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya”. (QS. Al-Furan: 57)
“Katakanlah,”Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku. Dan aku bukan termasuk orang yang mengada-adakan”. (QS. Shaad:86)

Kelompok ini datang dari mazhab Hanafi yang diwakili Ibn Abidin, secara tegas menyatakan bahwa imbalan yang diambil dari usaha semacam itu hukumnya haram. Bahkan menurut Ibn Abidin, prinsip dalam al-ujrah ‘ala al-thaa’ah adalah hurmah (diharamkan). Kelompok ini berdalil bahwa perbuatan-perbuatan yang bersifat ibadah kepada Allah tidak boleh dipungut imbalan). Para murobbi dan pembina halaqah tarbiyah bisa dijadikan sebagai contoh sederhana, mereka umumnya tidak pernah menerima imbalan uang atau honor. Meski mereka disibukkan dengan beragam jenis pembinaannya.
Semua dilakukan dengan ikhlas karena tuntutan perjuangan. Padahal jumlah halaqah pengkaderan mungkin ribuan jumlahnya. Namun tidak ada anggaran yang turun dari pusat, tidak slip gaji dan tidak ada tunjangan pensiun. Namun semua berjalan serta bisa melahirkan lapis demi lapis generasi rabbani.
Sedangkan kelompok ketiga, membolehkan da’i mengambil imbalan itu dengan syarat: jika itu menyita tenaga dan waktunya serta ia benar-benar membutuhkan imbalan dari pekerjaannya. Termasuk dalam pendapat ini adalah Ahmad Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah. Menurut KH. Hasan Basri, ketua MUI Pusat , jika pemberian itu dilakukan dengan ikhlas dan tanpa ada perjanjian dimuka (memasang tarif harga), maka hukum imbalan itu “halal”, yang tidak boleh adalah mematok atau menentukan harga. Yang selanjutnya disetujui oleh da’i kondang, KH. Zainuddin MZ. Menurutnya mengambil imbalan “boleh-boleh saja”, asal tidak diiringi dengan harapan, Sebab, kalau dengan mengharap imbalan, persoalannya akan berkaitan dengan keikhlasan, jikalau keikhlasan itu hilang maka hukumnya menjadi haram. KH. Zainuddin menekankan bahwa sebenarnya yang diberikan kepada da’i itu bukanlah imbalan atas kewajiban melakukan tugas dakwahnya, melainkan jasanya.
Di negeri kita yang umatnya hobbi dengan tontonan, seringkali kegiatan ceramah dielaborasi dengan seni pentas dan pertunjukan. Kegiatan berceramah disejajarkan dengan pentas seni. Mengenai pementasan ini, tidak bisa dilepaskan dari urusan dana dan finansial. Dan tidak aneh kalau kita sering mendengar bahwa seorang ustadz menerima honor sekian puluh juta rupiah untuk sekali mentas yang durasinya hanya beberapa menit saja. Maka terkenal istilah da’i sejuta umat dan da’i sejuta rupiah. Logikanya, seorang artis yang kerjanya menebar maksiat dan cuma menghadirkan kebahagiaan sesaat, bisa menerima honor puluhan juta rupiah. Masak seorang ustadz yang sebenarnya juga diminati khalayak, kok cuma disampaikan ucapan terima kasih alias syukron? Bagi mereka amat layak bila pak ustadz yang menebar kedamaian, kebenaran, dan kesejukan iman, juga menerima honor sepadan dengan artis.
Bahkan ada yang mengatakan, seharusnya honor ustadz lebih tinggi dari honor para artis. Sebab yang disampaikan seorang ustadz itu adalah kebenaran hakiki, sedangkan para artis hanya bisa memberikan hiburan sesaat. Memang sudah selayaknya seorang da’i mendapatkan imbalan yang layak untuk setiap ilmu yang disampaikannya. Da’i juga manusia,butuh sandang, pangan, papan,belum lagi jika harus ceramah di tempat yang agak jauh dan tidak ada penjemputan, sudah pasti butuh biaya minimal untuk perjalanan, karena para da’i ini telah mendedikasikan sepanjang hidupnya untuk kemaslahatan umat. Sudah sepantasnya pula dari pihak yang mengundang baik itu Dewan Pengurus Masjid, Perkumpulan Pengajian atau perorangan memberikan imbalan yang pantas bagi para ustadz, mengingat para ustadz tersebut juga butuh biaya hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar