Iddah adalah periode tertentu yang wajib dijalani dan ditunggu oleh wanita
yang dicerai suaminya atau yang ditinggal mati suaminya dengan berpantang
melakukan perkawinan baru.[1][1]
Lamanya masa tunggu itu bervariasi, tergantung dalam kondisi bagaimana
seorang wanita itu berpisah dengan suaminya. Seorang wanita yang ditinggal mati
berbeda iddahnya dengan wanita yang dicerai. Begitu pula seorang wanita yang
dicerai dalam keadaan hamil berbeda dengan wanita yang dicerai tidak dalam
keadaan hamil. Semua ini ada ketentuannya dalam Quran.
Bagi wanita yang dicerai
sedangkan ia dalam keadaan hamil, iddahnya adalah sampai ia melahirkan bayi
yang dikandungnya (ath-Thalaq: 4). Bagi wanita yang dicerai
sedangkan ia dalam keadaan haid, iddahnya adalah tiga kali quru`(Mengenai kata
quru` ini ada dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh karena itu timbul dua
penafsiran: ada yang mengatakan tiga kali suci dan ada yang mengatakan tiga
kali haid) (al-Baqarah: 228), sedangkan jika ia belum
balig atau sudah memasuki masa menopause, maka iddahnya adalah tiga bulan (ath-Thalaq:
4). Sedangkan bagi wanita yang ditinggal mati, iddahnya adalah 4
bulan 10 hari (al-Baqarah: 234). Akan tetapi Quran tidak
menetapkan berapa lama iddahnya seorang wanita yang ditinggal mati suaminya
sedangkan ia dalam keadaan hamil. Apakah iddahnya dihitung menurut iddah
kematian atau kehamilan? Terhadap kasus ini muncul dua pendapat. Pendapat
pertama menyatakan bahwa iddah wanita yang dalam keadaan seperti itu adalah
kelahiran anaknya. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa iddahnya dengan
melihat mana masa terlama di antara iddah kehamilan dan kematian. Jika masa
kehamilan lebih lama, maka iddah kehamilan itu yang dijadikan patokan, yaitu
sampai ia melahirkan anaknya. Akan tetapi jika iddah kamatian lebih lama, maka
iddah kematian itu yang dijadikan patokan.
Ketentuan Quran tentang
iddah ini adalah suatu ketentuan yang mutlak harus diikuti, karena inilah
syariat yang diturunkan kepada manusia untuk kemaslahatan mereka di dunia dan
keselamatan mereka di akhirat kelak. Ketentuan-Nya ini tentu saja tidak dapat
diubah. Akan tetapi ada yang belum jelas di sini, yaitu apa alasan Allah
mensyariatkan iddah bagi seorang wanita, Quran tidak menjelaskannya. Tidak adanya penjelasan Quran tentang hal
ini tidaklah menunjukkan titik lemah dari Quran. Justru inilah cara Allah
memberi kebebasan kepada manusia dalam menafsirkan syariat yang Dia turunkan.
Apa alasan yang tepat dari pemberlakuan iddah ini, Dia kembalikan kepada
manusia. Oleh karena itu, tidak sedikit ulama yang mencoba mendefinisikan atau
mencari alasan pemberlakuan iddah itu kepada kaum wanita. Di sini pembahasan
mulai memasuki wilayah fikih, bukan syariat. Hal ini tentu saja menyebabkan
munculnya banyak definisi dan alasan pemberlakuan iddah itu. Dalam wacana
fikih, banyaknya pendapat tentang suatu masalah fikhiyah dimungkinkan.
Menurut golongan
Syafi`iyah, makna iddah adalah:
مدة تتربص فيها المرأة لمعرفة براءة
رحمها أو للتعبد أو لتفجعها على زوج.
“Masa yang harus dilalui oleh istri untuk mengetahui bebasnya (kesucian)
rahimnya, mengabdi, atau berbela sungkawa atas suaminya.”[2][2]
Sejalan dengan golongan Syafi`iyah ini, golongan Hanafiyah mendefinisikan
iddah dengan:
أجل ضرب لانقضاء ما بقي من أثار النكاح
أو الفراش
“Suatu batas waktu yang ditetapkan (bagi wanita) untuk mengetahui sisa-sisa
dari pengaruh pernikahan atau persetubuhan.”[3][3]
Dari dua definisi iddah di
atas tampak bahwa tujuan iddah adalah untuk mengetahui apakah di dalam rahim
wanita yang dicerai atau ditinggal mati itu terdapat bibit yang akan tumbuh
menjadi bayi atau tidak. Dalam rangka inilah masa tunggu itu diberlakukan.
Demikian menurut ulama golongan Syafi`iyah dan Hanafiyah.
Seiring dengan perjalanan
waktu dan perkembangan peradaban manusia, ditambah lagi dengan kemajuan sains
dan teknologi, perubahan-perubahan terus berjalan. Sesuatu yang tadinya
dianggap mustahil oleh manusia, saat ini terjadi. Sesuatu yang sebelumnya tak
terbayangkan adanya kini dapat disaksikan.
Dewasa ini, ilmu kedokteran telah mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Dengan menggunakan USG (Ultrasonography), yaitu teknik diagnostik untuk
pengujian struktur badan bagian dalam yang melibatkan formasi bayangan dua
dimensi dengan gelombang ultrasonik,[4][4] seseorang dapat mengetahui jenis
kelamin bayi yang masih berada di dalam kandungan. Bukan itu saja, bahkan
dengan melalui suatu alat tertentu, yaitu dengan menjalani tes urine,
rahim seorang wanita dapat diketahui apakah
di dalamnya terdapat janin atau tidak. Dengan kata lain, apakah ia dalam
keadaan hamil atau tida. Jadi, proses untuk mengetahui kehamilan atau tidak
sangat cepat. Hanya dengan hitungan menit, bahkan detik, saja.
Jika kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern di bidang kedokteran ini dihubungkan dengan
pendapat para ulama tentang iddah di atas, maka jelas sekali perbedaannya,
bahkan bertolak belakang. Di sini terbukti bahwa apa yang dahulu tak
terbayangkan oleh para ulama mazhab, kini telah terjadi. Mereka mendefinisikan
iddah dengan menghubungkannya dengan kehamilan, sudah pasti karena mereka tidak
mengetahui akan adanya alat yang dapat digunakan untuk mengetes kehamilan,
bahkan dengan waktu yang sangat singkat.
Dengan adanya kontradiktif
antara pendapat ulama tentang iddah dan teknologi modern ini, timbul
pertanyaan: apakah pendapat ulama mazhab tentang iddah itu masih perlu
dipertahankan atau tidak? Jika dipertahankan, konsekuensinya adalah bahwa hukum
iddah dianggap tidak berlaku lagi. Sebab, untuk mengetahui keadaan rahim
seorang wanita, dalam arti hamil atau tidak, tak perlu menunggu sampai tiga
atau empat bulan sepuluh hari. Jika hukum iddah dianggap tidak berlaku lagi, maka berarti ayat-ayat Quran
yang menjelaskan tentang hal itu juga tidak berlaku lagi. Apakah hal ini dapat
diterima akal yang sehat? Sudah barang tentu tidak. Ayat-ayat Quran, sebagai
sumber syariat, tentang iddah akan tetap berlaku. Ketentuan-ketentuannya
tentang lama masa iddah wajib diimani dan dilaksanakan. Yang harus dianggap
tidak berlaku lagi justru pendapat para ulama mazhab itu, karena sudah tidak
relevan lagi dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Dengan kata lain, perlu
ada redefinisi tentang iddah.
1 Dewan
Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1993, hlm. 171.
2 Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh `ala
al-Mazhahib al-Arba`ah, Juz IV, Beirut: Ihya` at-Turats al-`Arabi, 1969,
hlm. 517.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar